Time is Flow
Friday, 22 February 2013
Scandal of Jul Park - Part 3
Previous
Scandal of Jul Park - Part 1
Scandal of Jul Park - Part 2
Dari matanya dia menjawab itu dengan tulus tanpa rasa jijik sedikitpun kepadaku dan dia tidak lekas bergegas pergi, melainkan tetap di sini bersamaku, perkiraanku salah dengan menganggap dia hanya melihatku dari status sosialnya.
"mmmm, kalo boleh tau, tadi kata Mas Rangga, mas Rangga teriak karena lagi suntuk? dan memang aku lihat mas Rangga lagi ada masalah? masalah apa sih yang lagi mas alamin sampai-sampai membuat kegaduhan di sini?"
Lagi-lagi Rangga tersenyum mendengar perkataanku "huuffhhh gimana yaa" ucap Rangga sembari berjalan ke arah bangku semen yang biasa ku jadikan tempat tidurku, lalu kemudian dia duduk di bangku itu dan dengan bahasa isarat dari tangannya menyuruhku untuk duduk di sebelahnya.
Jantungku kembali berdegup dibuatnya setelah tadi sempat kembali normal, dan aku duduk perlahan disebelahnya. Aroma tubuhnya yang tercium olehku menandakan bahwa kami duduk berdampingan yang kurang lebih hanya berjarak satu jengkal. Tentu saja jantungku teresonansi, ini untuk pertama kalinya aku duduk bersebelahan dengan seorang pemuda tampan dan dapat dilihat dari penampilannya bahwa dia termasuk golongan di tingkat atas, kalau jaman kolonial dulu disebutnya tingkat bangsawan.
Selama aku hidup, mana ada pemuda seperti mas Rangga ini yang mau duduk berdampingan denganku, untuk berpapasan saja mereka tak sudi. Sambil melihat angkasa dan meletakkan tangannya pada bangku untuk menyanggah bahunya sejajar dengan lehernya, setela menghela nafas mas Rangga berkata
"Hidup itu keras ya Jul, mungkin jadi sepertimu lebih enak karena tidak mempunyai pilihan untuk menentukan hidup yang sedang dan akan kamu jalani, hidup untuk memilih itu suatu hal yang membebankan.. membebankan hidup"
setelah menyelesaikan perkataannya mas Rangga kembali menghela nafas dan kemudian terdiam. Aku menatap kearahnya, aku belum bisa percaya mas Rangga berkata seperti itu kepada orang yang baru dikenalnya, kepadaku, yang hanya gembel di taman ini
"Pasti hidupmu tidak ada beban, benarkan Jul?" lanjutnya.
Apa yang dia pikirkan bahwa hidupku tidak ada beban, dia salah total, gembel sepertiku pasti memiliki beban yang lebih berat dari orang-orang kaya semcam dia, pikiranku yang ingin selalu menjadi orang kaya saja sudah membuat beban berat di kepalaku,
"Mas Rangga salah besar, hidup tanpa beban bukanlah hidup, semua orang dalam hidupnya pasti punya beban, dan saya pun begitu, kalo mas Rangga tau mencari uang untuk makan sehari saja rasanya itu beban yang luar biasa bagi saya. Bagaimana bisa mas Rangga berkata seperti itu kepada saya?"
Rangga terdiam dan hanya tersenyum sambil sesekali melihat ke arahku dan kemudian kembali menatap angkasa.
"Memangnya pilihan apa yang sedang mas Rangga pikirkan untuk mas Rangga pilih? sampai-sampai disebut sebagai beban berat" ucapku memecah keheningan.
Tiba-tiba handphonnya mas Rangga berdering
"Hallo selamat sore.... sekarang Pak?.... baik-baik sekitar 20 menit lagi saya sampai disana... okee.. iyaaa.. terimakasih"
telpon pun terputus. Setelah mas Rangga memasukkan kembali handphonenya ke dalam saku celananya, dia berkata
"Okkee Jul sepertinya saya harus pergi sekarang, kapan-kapan kita ngobrol lagi, kamu setiap hari di sini terus kan?"
aku hanya mengangguk, mendapati jawabanku mas Rangga kemudian pergi ke arah mobil yang diparkirkannya di pinggiran taman. Melihat langkahnya yang semakin menjauh dariku entah kenapa membuat dada ini sesak, kenapa aku takut kehilangannya kenapa aku takut tidak akan bertemu dengannya lagi,
"Senang bertemu dengan mu Jul...!!"
teriak Rangga sambil melambaikan tangannya ke arahku saat dia ingin memasuki mobilnya. Aku hanya tersenyum dan membalas lambaian tangannya. Kemudian dia pun berlalu dan lenyap dari pandangan mataku.
****
Sore telah berganti malam, tanpa terasa aku sudah 3 jam hanya duduk di bangku ini setelah Rangga pergi.. "hufffhhh... ada apa dengan perasaan ini?" gerutuku. Tiba-tiba saja ada yang memanggilku dan membuyarkan lamunanku "Jul..?" aku pun menoleh kearah suara tadi, ternyata Oma, namanya aku tidak tahu siapa, hanya ku panggil Oma saja. Sudah sebulan ini ia tinggal di rumah anaknya yang baru saja melahirkan buah hati pertamanya juga sekaligus cucu pertama buat si Oma
"oohh Oma, kirain siapa, ada apa Oma? keran di rumah bocor lagi?" tanyaku.
Dua minggu yang lalu aku jadi tukang ledeng di rumah si Oma, benerin keran dapur Oma yang rusak, lumayan bayarannya bisa untuk makan dua hari. Kemandirianku membuat aku dapat mengerjakan beberapa pekerjaan kasar, yaa salah satunya benerin keran air yang rusak.
Oma tersenyum, "Dari beranda rumah Oma, Oma liat kamu dari tadi cuma duduk-duduk saja disini setelah kamu melambaikan tanganmu ke arah pemuda yang naik mobil tadi, dia temanmu?"
Rangga.. kenapa Oma menanyakan Rangga, berarti tadi Oma sempat melihat Rangga, hmmm, desisku dalam hati.
"Bukan Oma, dia cuma pengunjung baru taman ini, Oma kesini cuma mau nanyain itu aja?",
Oma memberiku sebuah bungkusan "engga, Oma mau kasih ini, nasi goreng buat makan malam sama puding coklat buat pencuci mulutnya, cucu Oma baru aja tidur, lucunya dia".
Aku mengambil bungkusan itu, lumayan untuk mengisi perutku malam ini. Yaa inilah aku, untuk makan saja perlu meminta belas kasihan orang lain. Tapi aku tidak pernah menjadi tukang minta-minta di jalan lagi sejak 5 tahun lalu, Eyang Uti yang mengajariku untuk tidak mendapatkan sesuatu tanpa memberikan apapun, bahkan sekecil apapun yang dari kita punya. Jadi untuk mendapatkan uang aku kadang-kadang menyumbangkan suaruku, atau bahasa kasarnya ngamen. Kadang sesekali aku jadi tukang parkir di toko-toko daerah sini, terkadang juga jadi kurir antar makanan dari restoran di samping taman karena pegawainya sedang tidak masuk kerja atau bahkan sampai benerin keran air di rumah Oma. Yaa apapun itu, semua pekerjaan bisa aku lakukan untuk mendapatkan uang.
"waahh makasih banyaakk Oma, cacing diperutku sudah berteriak-teriak minta diisi" jawabku sambil mengelus-elus perut, hmm bahkan karena memikirkan Rangga aku sampai tak berfikir untuk mencari makan walaupun tanpa disadari aku lapar.
"kalo gitu Oma pulang dulu yaaa, mau liat si kecil tidur, hayoo dihabiskan makanannya",
"iyaa Ommmaaaa... :D" ucapku dengan sumringah.
Setelah Oma membalikkan badannya langsung saja kulahap habis semua makanan yang Oma kasih. "aaahhhh kenyangnyaa jadi ngantuukk hhoooaaaaammm.." aku melihat jam ditaman "ah masih sore baru juga jam 8, tumben banget udah ngantuk, tapi males banget tidur, hufffhh.."
Aku melihat disekelilingku ternyata masih ramai, masih banyak aktivitas yang dilakukan orang-orang, dan aku melihat sekumpulan anak-anak kecil yang segolong denganku sedang tertawa-tawa bersuka cita. Ternyata mereka sedang bermain egrang dan anggar-anggaran yang terbuat dari pelepah pohon pisang, permainan tradisional yang memang masih digunakan oleh anak-anak jalanan seperti mereka. Kemudian aku melihat rumah-rumah mewah yang mengelilingi taman "hhhmm sungguh berbeda dengan anak-anak yang tinggal di dalam rumah-rumah gedong itu, pasti mereka mainnya playstation atau game-game di komputer di Ipad. Bahkan bisa aku tebak pasti mereka tidak tau apa itu egrang apa itu anggar-anggaran" gumamku.
Tiba-tiba saja dari kerumunan anak-anak itu ada yang memanggilku "oooiii mba Jul, ngapain bengong, mendingan sini main sama kita, cobain nih maen egrang, aahh pasti mba Jul gak bisa dan dijamin jatoh, hahahaha"
anak itu tertawa terbahak-bahak diikuti dengan tawa dari teman temannya "sial gue diledekin anak kecil" lalu aku membalas ucapan mereka
"wah kurang ajar lo pada, gue lebih hebat dari lo lo pada, mana sini gue coba"
Akupun menghapiri mereka untuk membuktikan kalo aku jago maen egrang walau sebenarnya ini kala pertama kali aku mencobanya. Tapi aku gak rela harga diriku diinjek-injek sama bocah-bocah ingusan kayak mereka yang umurnya aja belom pada genap 10 tahun, gengsi dong klo aku nolak tantangan mereka.
Salah satu dari merekapun memberikan eggrangnya untuk aku coba "aahh ini mah kecill, nenek-nenek bongkong juga bisa" ucapku sombong,
lalu perlahan ku coba naikkan kaki kananku di atas tumpuan egrang, lalu kunaikkan lagi sebelah kakiku di tumpuan lainnya "ah gampang, lo liatt bisa kan gue" jawabku dengan bangga sambil tersenyum lebar,
kemudian salah satu dari mereka yang namanya Binyo menyahut "yaahh mba Jul, jalan dong, nenek-nenek bongkok juga bisa klo cuma diri doang, ahahahaaa" kemudian diikuti dengan tawa anak-anak lainnya,
"hmmmm siapa takut, lo liat nih yaa" jawabku. Selangkah, dua langkah, aman. ketika di langkah ketiga aku mulai kehilangan keseimbangan, dan "guubbrraaaakkk...." disusul segra dengan suara tawa dari bocah-bocah itu
"hahahahaa.... udah mba Jul klo gak bisa bilang aja wakakakak..." lanjut si Binyo mengompori anak-anak lainnya
"aarrgghh diem lo semua, bukannya bantuin gue bangun malah ketawain, awas ya lo semua gak gue beliliin es potong lagi"
mendengar ucapanku tadi anak-anak itu langsung berubah 180 derajat, mereka berhenti mentertawaiku, dan si kompor Binyo-pun segera merubah ucapannya
"wooyy lo pada kenapa diem aja, bantuin mba Jul bangun tuh, ayoo ayooo" serentak anak-anak itu membantuku untuk bangun.
Es potong emang senjataku yang paling ampuh untuk menghadapi anak-anak ini kalau lagi bandel, mereka emang terkadang menyebalkan, tapi aku sayang banget sama mreka, mereka adalah keluargaku di sini, siapa lagi selain mereka yang aku punya. Walaupun aku cuma bisa kasih mereka es potong, itupun tidak sering hanya kalau lagi ada pemasukan banyak. Dan saking sayangnya aku pada mereka, aku pernah mendatangi beberapa mahasiswa dan meminta mereka untuk bersedia dengan sukarela mengajari membaca dan menulis anak-anak ini. Sebenarnya bisa saja aku mengajari mereka baca dan menulis, tapi kalau aku yang mengajar mereka pasti tidak akan serius ngejalaninnya, kalau orang lain pasti mereka takut.
Akhirnya aku bisa berdiri lagi dengan tegap, walaupun tangan dan kakiku sakit karena terjatuh tadi dan sepertinya engsel pergelangan kakiku sedikit terkilir. Lalu aku memutuskan untuk bergegas ke tempat tidurku
"udah puas kan lo pada ngecengin gue? badan gue udah sakit-sakit dan sekarang gue ngantuk mau tidur, awas aja kalo ada yang gangguin! gue jitakin satu-satu" kataku sambil menunjukkan kepalan tanganku kepada mereka,
"siaappp mba Jul" jawab Binyo "silahkan tidur dengan nyeyak mba Jul" lanjutnya.
Akupun berjalan ke arah tempat tidurku, membaringkan tubuhku yang lelah, melihat kelangit, banyak bintang. Setelah hujan gerimis tadi sore, malam ini terlihat cerah. "Semoga malam ini tidak hujan" ucapku dalam hati. Tak lama aku memandang langit yang dipenuhi dengan bintang akupun tertidur.
Bersambung...
Thursday, 21 February 2013
Keretamu Telah Melaju
Dari titik tertinggi di bangunan itu
ku melihatmu,
melangkahkan kaki,
menuju tempat keretamu melaju
Udara sore ini
cukup menahan buturan keringatmu muncul dari pori-pori kulitmu
butiran sisa-sisa air hujan menambah suasana sore itu semakin kelabu
Kau terus berjalan
tanpa menoleh ke titik tertinggi tempatku mengamatimu
tentu saja kau tak akan pernah menoleh
karena telepatimu
bukan tersambungkan untukku
Aku terus mengamatimu
sampai kau tak nampak lagi oleh kedua mataku
tersembunyi di dalam pepohonan rindang
yang memagari jalan setapak itu
Aku masih berdiri di bibir jendela
yang terlindungi bingkai besi hitam
walau kau sudah tak nampak di dalam bayangan mataku
aku tetap berdiri
Terbesit hatiku meminta untuk mengejarmu
berjalan disampingmu..
menjaga setiap langkahmu..
namun..
ragaku menolak permohonan hatiku
karena aku tahu
bahwa keretamu telah melaju
membawamu pergi ketempat titian hatimu menepi
GR lt.8
Friday, 1 February 2013
Sky, save a lot of story.
Aku suka hujan, tapi aku juga suka langit, baik pemandangan langit di pagi, siang maupun malam hari, baik cerah maupun kelabu.. bahkan nama salah satu tokoh utama dalam tulisanku adalah "Langit". Aku suka memandang langit, apalagi kalau sedang dihiasi awan-awan tebal yang indah, yang rasanya ingin sekali menggapainya. Setiap menatap langit, selalu teringat semua mimpi-mimpi dan cita-cita yang harus diperjuangkan, diraih, direalisasikan, dan diciptakan. Setiap kali merasa jatuh, gagal dan tak berdaya, menatap langit memberikan ketenangan jiwa, seakan menatap sang pencipta, dengan lembut kuadukan semua gundahku kepadaNya. Langit itu seakan memiliki banyak cerita, selalu memberikkan penampakan yang berbeda setiap harinya, tak pernah sama, tapi selalu indah. Mungkin seperti filosofi kehidupan, kadang indah, kadang suram, kadang banyak penampakan bentuk-bentuk awan yang berbeda, kadang dihiasi bintang atau kadang tak terlihat awan atau bintang
beberapa dokumentasi pribadi tentang langit, fotonya natural tanpa editan.
Astiandini
Subscribe to:
Posts (Atom)