SENGKETA KEDAULATAN PULAU SIPADAN DAN PULAU LIGITAN ANTARA INDONESIA DENGAN MALAYSIA
wiyasti dwiandini*
12 May 2009
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang.
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan Negara yang memiliki banyak pulau. Oleh karenanya Negara Indonesia disebut Negara Kepulauan, Negara Kepulauan adalah negara yang seluruhnya terdiri dari satu atau lebih Kepulauan dan dapat mencakup pulau–pulau yang lain. Kepulauan adalah suatu gugusan pulau, termasuk bagian pulau, perairan di antaranya. Karena banyaknya pulau-pulau yang di tempati oleh masyarakat yang berbeda latar belakang mengakibatkan timbulnya berbagai macam pula suku, ras, dan budaya. Hal ini menjadikan bangsa Indonesia harus berusaha menyatukan keberagaman tersebut, oleh sebab itulah muncul semboyan bangsa “Bineka Tunggal Ika” berbeda-beda tapi tetap satu tujuan.
Sebagai negara yang sedang mengalami perkembangan, Negara Indonesia juga memiliki beberapa kekuatan dan kelemahan. Kekuatannya terletak pada posisi dan keadaan geografi yang strategis dan kaya akan sumber daya alam (SDA). Sementara kelemahannya terletak pada wujud Kepulauan dan keanekaragaman masyarakat yang harus disatukan dalam satu bangsa, satu negara dan satu tanah air.
Segala bentuk permasalahan kerap kali dihadapi bangsa kita, tidak hanya permasalahan yang timbul dari dalam negara Indonesia saja, tetapi juga sebagai bagian dari kesatuan negara seluruh dunia, tentunya Negara Indonesia juga mempunyai tetangga yang memungkinkan timbulnya permasalahan dengan negara tetangga itu, seperti halnya dalam kehidupan masyarakat bertetangga pasti ada saja asam-manisnya hidup bertetangga. Namun sebagai bangsa yang bijak para pemimpin bangsa dituntut untuk menyelesaikan segala permasalahan yang timbul baik di dalam maupun di luar menggunakan cara penyelesaian yang terbaik bagi bangsa kita dan tidak saling merugikan.
Masalah yang timbul di antara Indonesia dengan Negara tetangga tersebut salah satunya adalah masalah sengketa mengenai kedaulatan wilayah, terutama wilayah di daerah perbatasan, baik batas udara,, darat maupun batas laut. mengingat bahwa Indonesia merupakan Negara kepulauan, maka kasus sengketa yang sering dihadapi Indonesia dengan Negara tetangga adalah kasus sengketa kepulauan.
Sengketa menyangkut kedaulatan wilayah merupakan masalah yang menjadi perhatian setiap negara dan tidak dapat diselesaikan dengan mudah. Mengingat pentingnya wilayah sebagai suatu element esensial dari negara dalam hukum Internasioanal, dimana dalam wilayahnya, suatu negara mempunyai kedaulatan penuh. Menurut Mochtar Kusumaatmadja sengketa mengenai wilayah dibedakan menjadi dua :
1. Dalam bentuk klaim terhadap seluruh wilayah dari suatu negara, contoh Arab dengan Israel.
2. Dalam bentuk klaim terhadap suatu bagian dari wilayah negara yang berbatasan, contoh Indonesia dengan Malaysia mengenai Pulau sipadan dan Pulau Ligitan .
Sengketa kedaulatan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan antara Indonesia denagn Malaysia merupakan salah satu kasus yang dihadapi oleh Indonesia dengan Negara tetangga, kasus ini sangat sulit dicapai penyelesaiannya, karena kasus ini mempunyai akar sejarah yang kompleks tetapi pada akhirnya sengketa ini berhasil diselesaikan secara damai oleh pihak yang bersangkutan yaitu Indonesia dengan Malaysia sehingga kasus ini menarik untuk dibahas.
Pulau Sipadan dan Ligitan sebenarnya tak lebih dari pulau kecil yang luasnya saja 10,4 hektar untuk Sipadan dan 7,9 hektar untuk Ligitan.. Saking kecilnya, dalam pelajaran ilmu bumi disekolah, kedua pulauini hanya bertanda titik dalam peta. Jika dihitung dari jara, Pulau Sipadan terletak 15 mil laut dari daratan Sabah (Malaysia) dan 40 mil laut dari timur Pualau Sebatik milik Indonesia dan Malaysia. Sedangkan Ligitan 21 mil dari laut Sabah dan 57,6 mil dari timur Pulau Sebatik. Tak ada penduduk,hanay ada karang dan pasir putih. Namun, keberadaannya telah menyita energi Indonesia dan Malaysia untuk mendapatkannya. Pulau Ligitan hanya terdiri dari semak belukar dan pohon. Sementara itu, Sipadan merupakan pucuk gunung merapi di bawah permukaan laut dengan ketinggian sekitar 700 meter. Sampai 1980-an, dua pulau ini tak berpenghuni alias kosong melompong .
Namun, bagi Indonesia dan Malaysia, dua pulau ini punya arti penting, yakni batas tegas antar dua negara. Sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan sebenarnya sudah terjadi sejak masa kolonial antara pemerintah Hindia Belanda dan Inggris. Pulau Sipadan pernah dimasukkan dalam Turtle Preservation Ordinance oleh pemerintah Inggris pada 1917. Keputusan ini ditentang pemerintah Hindia Belanda yang merasa memiliki pulau tersebut.
Sengketa kepemilikan pulau itu tak kunjung reda, meski gejolak bisa teredam. Sengketa Sipadan dan Ligitan kembali muncul ke permukaan pada tahun 1969, ketika Tim Teknis Landas Kontinen Indonesia – Malaysia membicarakan batas dasar laut antar kedua negara. Kedua pulau Sipadan dan Ligitan tertera di Peta Malaysia sebagai bagian dari wilayah negara RI, padahal kedua pulau tersebut tidak tertera pada peta yang menjadi lampiran Perpu No. 4/1960 yang menjadi pedoman kerja Tim Teknis Indonesia. Dengan temuan tersebut Indonesia merasa berkepentingan untuk mengukuhkan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan. Maka dicarilah dasar hukum dan fakta historis serta bukti lain yang dapat mendukung kepemilikan dua pulau tersebut.
Sejak saat itu berbagai upaya penyelesaian secara diplomatis telah dilakukan untuk menyelesaiakan sengketa itu tetapi penyelesaian secara diplomasi itu tidak menghasilkan penyelesaia yang memuaskan kedua Negara tersebut. Hingga pada akhirnya pada tahun 1998 melalui "Special Agreement for Submission to the Internasional Court of Justice on the Dispute Between Indonesia and Malaysia Concerning Sovereignty Over Piulau Sipadan Pulau Ligitan“, Indonesia dan Malaysia sepakat untuk menyelesaikan sengkata ini melalui Jalur Hukum Internasioanal yaitu dengan menyerahkan kasusu ini kepada mahkamah Internasional. Kemudian pada 2 November 1998 kasus sengketa ini diajukan untuk diperiksa oleh Mahkamah Internasional. dengan penyerahan kasus sengketa Sipadan dan Ligitan tersebut, proses litigasi antara kedua pulau mulai berlangsung.
Jalan panjang membereskan sengketa ini baru berakhir di era Presiden Megawati. Dalam putusan Mahkamah Internasional yang jatuh pada 17 Desember 2002, Indonesia dinyatakan kalah. Untuk menghadapi sengketa ini Indonesia sampai menyewa lima penasihat hukum asing dan tiga peneliti asing untuk membuktikan kepemilikannya. Sayang, segala upaya itu mentah di depan 17 hakim Mahkamah Internasional. Sejak putusan Mahkamah Internasional itu turun, Pulau Sipadan dan Ligitan akhirnya berpindah pangkuan ke Malaysia.
Malaysia resmi dalam kepemilikan Pualua Sipadan dan Ligitan atas keputusan Mahkamah Internasional tentu saja hal ini akan menimbulkan “deep impact” terhadap hubungan kedua negara maupun dapat menjadi performa diplomasi RI. Kini Sipadan dan Ligitan telah terlepas dari gugusan Negara kesatuan republik Indonesia (NKRI).
BAB II
PERMASALAHAN
Posisi geografi Indonesia yang berada diantaradua benua dan dua samudra serta berbatasan dengan 10 negara, merupakan negara kepulauan yang besar dengan letak pulau-pulaunya yang menyebar ,berjumlah 17.504 pulau bernama dan tidak bernama dengan peyebaran penduduk yang tidak merata dan kepadatan penduduk yang tidak merata terpusat di Pulau Jawa.
Indonesia juga terdiri dari beraagam suku bangsa dengan bahasa dan adat istiadat yang berbeda yang menjadikan bangsa Indonesia begitu beranekaragam . Kesemua ini merupakan keuntungan bagi bangsa Indonesia tetapi terkadang menimbulkan kerawanan bagi Indonesia khususnya jika dikaji hubungan geostrategi Indonesia dengan wawasan nusantara.
Menghubungkan antara masalah apa saja yang mungkin terjadi dengan kemajemukan bangsa Indonesia, wilayah Indonesia yang berupa kepulauan yang 2/3 luas wilayahnya adalah lautan dan beberapa diantaranya masih belum jelas batasnya dengan wilayah negara tetangga serta bagaimana dengan wilayah Indonesia yang berada di perbatasan atau daerah frontier dan pulau-pulau yang masih tak berpenghuni, apakah akan terjadi masalah persengketaan kedaulatan pulau-pulau tersebut jika Indonesia tidak tegas dalam menentukan batas-batas wilayahnya?.
Dan ternyata seiring berjalannya waktu, Indonesia benar-benar terjebak dengan masalah kedaulatan atas batas wilayah pulau-pulau yang berada disekitar wilayah kesatuan negaranya. Salah satunya yaitu masalah sengketa Kedaulatan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan yang berada di antara Indonesia dengan Malaysia dan belum jelas status kepemilikannya karena tidak adanya kejelasan mengenai batas teritorial kedua pulau tersebut,apakah milik Indonesia atau milik malaysia. Dari sini dapat dilihat langkah apa saja yang seharusnya Indonesia lakukan bukan hanya menunggu sampai semuanya menghilang satu persatu dan dengan masalah yang sama, kapan Indonesia akan sadar akan sumberdaya alamnya yang seharusnya telah didepositkan segera ke PBB untuk mendapatkan pengakuan yurisdiksi dari Internasional tentang batas-batas wilayah Indonesia sehingga tidak diserobot oleh negara lain walaupun negara tetangga yang masih satu rumpun dengan Indonesia.
Ada bebrapa hal yang perlu dibahas menyangkut terjadinya kasusu Sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan antara Indonesia dan Malaysia, yaitu :
1. apa yang menyebabkan terjadinya sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan antara Indonesia dengan Malaysia?
2. Bagaimana Asal muasal terjadinya konvensi tahun 1891 antara Inggris dengan Belanda?
3. Bagaimana hasil dari keputusan Konvensi London tahun 1891 mengenai batas wilayah?
4. Bagaimana cara menyelesaikan sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan tersebut?
5. Bagaimana proses diplomasi yang dilakukan Indonesia-Malaysia dalam penyelesaian kasus Sipadan-Ligitan?
6. Bagaimana proses penyelesaian tersebut oleh Mahkamah Internasioanal?
7. Bagaimanakah putusan mahkamah internasional dalam sengketa kedaulatan atas Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan?
BAB III
TEORI PEMBAHASAN MASALAH
Perjuangan bangsa Indonesia dalam mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa yang utuh di seluruh wilayah nusantara di Indonesia ini, pertama kali dimunculkan dengan adanya “Deklarasi Djuanda” pada tanggal 13 Desember 1957 yang mendasari perjuangan bangsa Indonesia untuk menjadi rejim negara kepulauan (Archipelagic State) sebagai dasar dari konsepsi kewilayahan dalam rangka mewujudkan Wawasan Nusantara. Deklarasi Djuanda merupakan pernnyataan yang dikeluarkan pemerintah Indonesia mengenai wilayah perarairan Indonesia yang isinya antara lain menyatakan bahwa semua perairan di sekitar, di antara dan yang menghubungkan pulau-pulau yang masuk daratan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah bagian-bagian yang tak terpisahkan dari wilayah yurisdiksi negara kita yang tercinta, yaitu Negara Republik Indonesia.
Konsep Indonesia sebagai negara kepulauan (Archipelagic State) diakui dunia setelah United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) yang disahkan pada tanggal 10 Desember 1982 dan Indonesia juga telah meratifikasinya dengan Undang-Undang No.17 tahun 1985. Pengakuan Indonesia sebagai negara kepulauan tersebut merupakan anugerah besar bagi bangsa Indonesia karena perairan yurisdiksi nasional Indonesia bertambah secara luar biasa, luas laut Indonesia meliputi 2/3 dari seluruh wilayah negara (luas perairan menjadi suatu kesatuan dengan daratan). Wilayah perairan yang demikian luas menjadi beban tanggung jawab besar dalam mengelola dan mengamankannya. Untuk mengamankan laut yang begitu luas diperlukan kekuatan dan kemampuan di bidang maritim yang besar, kuat juga modern. Untuk mengelola sumber daya yang terkandung di dalamnya seperti ikan, koral, mineral, biota laut, dan lain sebagainya diperlukan SDM, peralatan dan teknologi kelautan yang modern serta dana yang teramat besar, juga kesadaran dari warga Indonesia dalam partisipasinya. Untuk 2 hal tersebut (pengamanan dan pengelolaan), diperlukan batas laut yang pasti dan tegas sebagai “pagar” negara nusantara Indonesia dalam rangka melindungi, mengamankan dan menegakkan kedaulatan sebagai negara kepulauan terbesar di dunia.
Penegakan kedaulatan dan wilayah perairan bangsa dapat dilakukan dan dipertanggungjawabkan pasa suatu negara yang batas-batasnya sudah pasti (diakui oleh kedua negara yang berbatasa dan untuk laut lepas sesuai dengan UNCLOS 1982) dan telah dilaporkan atau didepositkan di PBB untuk mendapatkan pengakuan internasional. Semakin merebaknya gangguan dan ancaman di perairan di nusantara akhir-akhir ini, semakin dirasakan pentingnya penentuan (penegasan) batas-batas laut.
Layaknya kehidupan bermasyarakat yang hidup bertetangga tentunya banyak terjadi konflik sebagai asam manis variasi kehidupan, begtu juga hubungan antar negara sering terjadi saling berselisih pendapat sehingga dapat menyebabkan kontroversi. Semua masalah itu bukanlah untuk dihindar tetapi harus dihadapi secara bijak, baik oleh pemerintah maupun seluruh rakyatnya.
Seperti permasalahan yang berulang kali muncul di kancah Internasional, masalah perebutan wilayah/pulau kecil perbatasan antara Malaysia dan Indonesia diantara pulau tersebut salah satunya adalah sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan pada tahun 1969. Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan terletak di Laut Sulawesi ( Calabes Sea ), di lepas pantai Timur Laut Pulau Kalimantan (Sebelah timur provinsi Kalimantan Timur) dan sebelah Timur pulau Sebatik. Laut Sulawesi sendiri berbatasan dengan :
- Sebelah Utara : kepulauan Sulu, Laut Sulu, dan Pulau Mindanao
- Sebelah Timur : berbatasan dengan Kepulauan sangihe
- Sebelah Selatan : berbatasan dengan Pulau Sulawesi
- Sebelah Barat : berbatasan dengan Pulau kalimantan.
Posisi ini menyebabkan Kedua Pulau tersebut berada di perbatasan antara Indonesia dengan Malaysia.
Sebagaimana telah diketahui, salah satu unsur esensial dari negara ialah penguasaan suatu daerah teritorial, dimana hukum negara itu beroperasi. Aats wilayah ini, wewenang tertinggi diberikan negara itu. dengan demikian timbullah konsep "kedaulatan teritorial" yang berarti bahwa di daerah toritorial ini yuridikasi dijalankan oleh negara itu atas orang-orang dan harta benda. Kekuatan teritorial dilukiskan oleh Max Huber,arbitrator dalam Island of palmas abritation, dengan istilah-istilah berikut :
"kedaulatan dalam hubungan antara negara-negara menandakan kemerdekaan. Kemerdekaan berkenaan dengan suatu bagian dari muka bumi ini adalah hak untuk melaksanakan di dalamnya, tanpa campur tangan negara lain”
ada tujuh cara yang diakui secara umum dan secara tradisional untuk mendapatkan kedaulatan teritorial ialah :
a, pendudukan (okupasi)
b. penaklukan (anekasi)
c. Akresi (accresion : mperubahan karena faktor alam)
d. Preskripsi :(prescription pengalihan hak atau kadaluarsa)
e. Sesi (cession penyerahan)
f. intergrasi atau sebaliknya disintegrasi
g. Revolusi (independen)
Sengketa Kedaulatan atas Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan ini pertama kali mulai terjadi sejak tahun 1969, ketika diadakan perundingan batas landas kontinen antara Indonesia dengan Malaysia di Kuala Lumpur (9-22 September 1969). Pertemuan itu bertujuan menentukan batas landas kontinen antara kedua negara tersebut di :
• Selat Malaka
• Bagian Barat Laut Cina Selatan (lepas pantai dari pantai timur Malaysia)
• Bagian Timur Laut Cina Selatan (Sepanjang pantai Timur Kalimantan dan Negara bagian Serawak, Malaysia)
• Laut Sulawesi, sepanjan bagian timur Kalimantan dan Sabah.
Pada saat membahas batas landas kontinen tersebut di Pulau Sulawesi, Indonesia dan Malaysia sama-sama mengklaim bahwa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan merupakan bagian dari wilayah negaranya masing-masing. Karena sama-sama menyatakan diri sebagai pihak yang berhak mengelola Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan tersebut, kedua belah pihak kemudian sepakat untuk menahan diri dan tidak melakukan kegiatan apapun di kedua pulau tersebut sampai proses penyelesaian sengketa kedua Pulau selesai .
Permasalahan ini sebenarnya berawal dari perbedaan penafsiran pada saat Konvensi London atas sejarah perjanjian politik tahun 1891 yang dibuat oleh dua kolonialis Ingris-Belanda untuk membagi Kalimantan. Dalam sejarah perjanjian ini yang telah tertulis dalam dokumentasi sejarah di Belanda, Perjanjian Inggris-Belanda tahun 1891 berisi tentang pembagian wilayah Kalimantan dan ditegaskan bahwa “Bagian utara adalah milik Inggris dan bagian selatan adalah milik Belanda, Persisnya pada titik timur Kalimantan ditarik garis membelah pulau Sebatik menjadi dua bagian, setengah milik jajahan Inggris dan setengahnya lagi milik jajahan Belanda”.
Asal muasal terjadinya konvensi 1891 ini dimuali pada abad ke XVI ketika Spanyol menguasai Philipina dan berusaha untuk memperluas kekuasaannya ke pulau-pulau yang terletak disebelah selatan Philipina, pada akhir abad XVI Spanyol berhasil menguasai wilayah yang sebelumnya dikuasai kesultanan Sulu, dimana dalam perjanjian tersebut Spanyol menjamin untuk memberikan perlindungan kepada Sultan Sulu di semua pulau yang terletak pada wilayah yuridiksi Spanyol dan pulau-pulau yang terletak diantara sebelah barat Pulau Mindanao hingga Pulau Kalimantan (Borneo) dan pulau Paragua (Palawan), kecuali di wilayah yang dikuasai oleh Sultan yang berkuasa di pulau Kalimantan. Kemudian pada tanggal 19 April 1851, Spanyol dan Sultan Sulu mengadakan Act or re-submission dimana Sulu dan wilayah-wilayah yang berada di bawah kekuasaan Sultan Sulu menjadi wilayah Spanyol.
Sementara itu pada abad XVII Belanda menguasai Kalimantan. The Netherlands east India Company yang memiliki kepentingan ekonomi yang sangat besar bagi wilayah Asia Tenggara diberikan kekuasaan oleh Netherlands United Provinces untuk mengadakan perjanjian dengan raja-raja di Asia Tenggara termasuk Pulau Kalimantan atas nama States general of The Netherlands.
Pada abad XVII dan abad XVII Netherlands east India Company menguasai Pulau Kalimantan sehingga kekuasaan Sultan Banjermasin semakin meluas hingga bagian timur dan selatan Pulau Kalimantan diantaranya meliputi kerajaan Boreu. Sementara Sultan Sulu Menguasai bagian utara Pulau Kalimantan. Kemudian pada akhir abad XVII , Netherlands east India Companya pailit sehingga seluruh wilayah yang dikuasainya kemudian dikuasai oleh Netherlands United Provinces.
Ketika terjadinya perang Napoleon Inggris menguasai seluruh wilayah Asia yang telah dikuasai oleh Belanda dan berdasarkan konvensi London tanggal 13 agustus 1814, Kerajaan Belanda memegang kekuasaan atas sebagian besar wilayah yang dulunya dikuasai oleh Belanda.
Kemudian pada tanggal 3 Januari 1817 diadakan perjanjian antara Belanda dengan sultan Banjermasin yang berisi penyerahan wilayah-wilayah yang dikuasainya ketangan Belanda termasuk wilayah yang membentuk kerajaan Berou meliputi Sambaliung, Gunung Tabur, dan Bulungan kemudian masing-masing penguasanya diberi gelar Sultan.
Pada 12 November 1850 pemerintah Belanda mengadakan perjanjian dengan para Sultan yang menguasai masing-masing wilayah di kerajaan Berou yang berupa contrac of vassalage. Pada perjanjian tersebut kekuasaan Sultan Bulungan meliputi Pulau Tarakan Nanukan, Sebatik dan pulau-pulau kecil disekitarnya. Kehadiran Belanda di Bulungan juga dinyatakan dengan aktif secara fisik,yaitu melalui dikibarkannya bendera Belanda yang dibagikan kepada para penguasa local serta melakukan kegiatan kapal perang HNMLS Abiral Van Kinsbergen disekitar Pualu sipadan pada tahun 1875-1877. Hal ini kemudiandi nyatakan kembali dalam kontrak tanggal 2 juni 1878, di mana kontrak ini kemudian di setujui dan di ratifikasi oleh pemerintah Belnada pada 18 oktober 1878 dan di beritahukan kepada pemerintah inggris.
Sementara itu walaupun Inggris mempunyai kekuasaan yang besar di Pulau Kalimantan tetapi pemerintahan Inggris tidak pernah mengambil tindakan apapun menyangkut kepentingannya tersebut hingga abad XIX. Dan setelah Anglo Dutch Confention pada 13 agustus 1814, berbagai klaim ekonomi maupun territorial pemerintahan Inggris dan pemerintahan Belanda di pulau Kalimantan mualai saling tumpang tindih. Pada 20 juni 1891 dibuatlah konfensi anatar pemerintah Inggris dengan pemerintah Belanda untuk menyelesaikan batas wilayah kekuasaan Belanda dan Inggris yang diakibatkan oleh ketidak jelasan batas wilyah kekuasaan antara Kesultanan Sulu dengan kesultanan bulungan di Pulau Kalimantan (Borneo) dimana Pulau Sipadan dan Ligitan Berada di wilayah yang diperebutkan.
Ketidak jelasan batas wilayah tersebut terjadi karena tidak diketahuinya secara pasti sampai sejauh mana kekuasaan kedua Sultan itu atas daerah-daerah lepas pantai yang dikuasainya. Tidak jelasnya batas daerah wilayah kekuasaan Kesultanan Bulungan dan Kesultanan Sulu itu ternyata seterusnya sampai ke pihak penjajah Inggris dan pihak penjajah Belanda, dimana Inggris menjajah Kesultanan Sulu sedangkan Belanda menjajah Kesultanan Bulungan.
Akan tetapi meskipun Sultan Bulungan dan Sultan Sulu telah menyerahkan wilayah kekuasannya kepada Belanda dan Inggris tetap saja batas pasti atas wilayah-wilayah tersebut tidak pernah digambarkan secara menyeluruh dalam setiap perjanjian dan penyerahan yang disepakati. Sehingga Inggris dan Belanda tidak mengetahui secara pasti batas antara wilayah territorial satu sama lain di Pantai Timur Kalimantan yang mereka kuasai.
Hingga akhirnya pada tahun 1880, ketidak pastian batas wilayah menimbulkan perselisihan antara Belanda dan Inggris. Perselisihan yang terjadi berupa perbedaan presepsi mengenai batas wilayah kekuasaan masing-masing. Belanda mengannggap bahwa wilayah kekuasaanya membentang ke Utara sampai batas 4º20’LU, sedangkan Inggris menanganggap bahwa batas wilayah kekuasaan Belanda hanya sampai 3º20’LU sebagaimana yang telah digambarkan dalam resolusi Belanda tanggal 28 Februari 1846.
Kemudian pada tahun 1891 atau Treaty Based Title dilakukan Konvensi antara Belanda dengan Inggris mengenai batas wilayah tersebut yang bertujuan untuk menentukan “ The boundaries between the Netherlands Possesions in the Island of Borneo an the states in that Island which are under british protection”. Adapun kesepakatan mengenai batas wilayah yang termuat dalam konvensi 1891 ini adalah :
1. Pasal I menetapkan bahwa batas anatara wilayah kekuasaan Belanda dan Inggris dimulai dari titik 4°10’. Lintangg Utara (titik 4°10’ LU tersebut sebagai starting point):
“The boundary between the Netherland possessions in Borneo and those of the British-protected States in the same Island,, shall start from 4°10’ north latitude on the east coast of Borneo.”
2. Pasal II dan III menentukan batas ke Arah barat melintasi pulau Kalimantan.
3. Passal IV menentukan batas kea rah timur dari titik yang telah ditentukan arlam pasal I
4. Pasal IV menentukan batas ke Arah timur dari titik yang telah ditentukan dari pasl I
From 4°10’ north latitutde on the east coast the Boundary-line shall be continued eastward along that parallel,across the Island of Sebatik : that portion of the Island situated to the north of that parallel shall belong unreservedly to the Brithish North Borneo Company, and the portion south to that parallel to the Netherlands.
Konvensi ini pada akhirnya dapat menyelesaikan masalah batas wilayah antara Belanda dengan Inggris yang kemudian wilayah tersebut menjadi wilayah Indonesia dan Malaysia sekarang. Tetapi, pada tahun 1969 permasalahan akan batas wilayah ini muncul kembali kepermukaan saat diadakannya perundingan batas landas kontinen antara Indonesia dengan Malaysia di Kuala Lumpur. Perundingan tahun 1969 ini merupakan titik penting dipandang dari segi hukum karena merupakan awal munculnya sengketa (critical date).
Perseteruan antara kedua negara rupanya tidak mudah menemukan titik terang yang menjadi solusi. Oleh karenanya, kedua negara berunding membuat suatu perjanjian pada tahun 1969 yang menghasilkan “perjanjian untuk tidak melakukan aktivitas di pulau Sipadan dan Ligitan karena pulau tersebut masih dalam sengketa dan belum jelas kepemilikannya”. Karena kedua pulau masih dalam sengketa akhirnya dalam peta kedua negara tersebut tidak mencantumkan pulau tersebut. Lemahnya diplomasi Indonesia dengan dalih “Semangat ASEAN” dalam berbagai perundingan mengalami jalan buntu,dan kemudian Pulau sipadan dan Pulau Ligitan berada dalam keadaan Status Qou
Akan tetapi, pada tahun 1970 dalam kondisi status qou ini, Malaysia melakuakan tindakan sepihak dengan menerbitkan peta yang memasukan Pulau Sipadan dan pulau Ligitan ke dalam wilayah Nasionalnya . Malaysia kemudian mengadakan aktivitas pembangunan resort dan mengelola Kedua Pulau tersebut menjadi daerah wisata dengan paket wisata Kinabalu juga penangkaran penyu bahkan Malaysia membuat “pulau buatan” di karang Rough di 4º10’ Lintang Utara. sementara itu, Indonesia tetap konsisten dengan keadaan Status Quo. Indonesia sama sekali tidak beraksi melihat tindakkan Malaysia itu. Para diplomat Indonesia beralih bahwa kepatuhan memelihara Status Quo mencerminkan itikad baik dalam mencari solusi atas Pacta Sunt Servanda (Hasil pembicaraan dalam perundingan).
Satu hal yang perlu dicatat, Pemerintah Pretektorat Inggris sejak zaman penjajahan menempatkan pos pengawas, polisi hutan, untuk memelihara kelestarian lingkungan. Sedsngkan pemerintah Hindia Belanda tidak ada perhatian dan tidak berbuat sesuatu demi kelestarian kedua Pulau tersebut.
Sejak saat itu pemerintah Indonesia dan Pemerintah Malaysia mencoba untuk menyelesaikan sengketa ini secara damai sesuai ketentuan dalam pasal 33 ayat (1) Piagam PBB. Penyelesaian sengketa internasional secara damai bertujuan untuk mencegah dan mengindarkan kekerasan atau peperangan dalam suatu persengketaan antar negara. Menurut pasal 33 ayat (1) Piagam PBB penyelesaian sengketa dapat ditempuh melalui cara-cara sebagai berikut:
Ada tiga kategori penyelesaian sengketa secra damai.
1. Menggunakan saluran diplomatic, penyelesaian sengketa dilakukan secara bilateral maupun dengan bantuan pihak ketiga yang terdiri dari :
• Negosiasi (perundingan) Perundingan merupakan pertukaran pandangan dan usul-usul antara dua pihak untuk menyelesaikan suatu persengketaan, jadi tidak melibatkan pihak ketiga.
• Enquiry (penyelidikan)Penyelidikan dilakukan oleh pihak ketiga yang tidak memihak dimaksud untuk mencari fakta.
• Good offices (jasa-jasa baik) Pihak ketiga dapat menawarkan jasa-jasa baik jika pihak yang bersengketa tidak dapat menyelesaikan secara langsung persengketaan yang terjadi diantara mereka.
• Mediation (mediasi) Pihak ketiga campur tangn untuk mengadakan rekonsiliasi tuntutan-tuntutan dari para pihak yang bersengketa. Dalam mediasi pihak ketiga lebih aktif.
• Consiliation (Konsiliasi) Merupakan kombinasi antara penyelesaian sengketa dengan cara enquiry dan mediasi.
• Arbitration (arbitrasi) Pihaknya adalah negara, individu, dan badan-badan hukum. Arbitrasi lebih flexible dibanding dengan penyelesain sengketa melalui pengadilan.Dalam hal penyelesaian melalui bantuan pihak ketiga, maka putusan atau solusi yang dihasilakn oleh pihak ketiga yang netral tersebut tidak mengikat para pihak yang bersengketa, melainkan hanya bersikap Rekomendasi.
2. Secara hukum, yang terdiri dari Arbitrasi dan Adjudikasi yang menghasilkan keputusan dari pihak ketiga yang mengikat secara umum.
• Penyelesain sengketa menurut hukum Dalam penyelesaian ini para pihak yang bersengketa akan mengajukan masalahnya ke Mahkamah Internasional. Mahkamah internasional ini bertugas untuk menyelesaikan tuntutan yang diajukan dan mengeluarkan keputusan yang bersifat final dan mengikat para pihak. Mahkamah Internasional merupakan bagian integral dari PBB, jadi tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya .
3. Melalui prosedur penyelesaian sengketa antara Negara-negara anggota Organisasi Internasional
• Badan-badan regional Melibatkan lembaga atau organisasi regional baik sebelum maupun sesudah PBB berdiri.
Jalan pertama yang ditempuh oleh Indonesia dan Malaysia dalam menyelesaikan masalah sengketa ini adalah melalui jalur diplomatis, yang diharapkan dapat menyelesaikan permasalahan di antara kedua negara tersebut.
Penyelesaian secara diplimatis itu dimulai dari pertemuan Mentri Luar Negeri Indonesia dan Malaysia pada tahun 1980, mereka menyatakan bahwa kedudukan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan masih dalam Status Que.
Kemudian pada tahun 1989, Ketika Perdana Mentri Malaysia Mahathir Mohammad dan Presiden RI Soeharto bertemu di Yogyakarta, kedua pemimpin Negara tersebut membuka kembali pembicaraan mengenai Status Pulau sipadan dan Pulau Ligitan. Sejak saat itu, kedua Negara sepakat untuk menyelesaikan sengketa secara bilateral.
Sayangnya berbagai pertemuan yang telah dilaksanakan tidak membuahkan hasil. Setelah melalui empat kali pertemuan di kedua Negara, dua wakil Negara Mensesneg Moerdiono dan wakil Perdana Mentri Anwar Ibrahim memunculkan rekomendasi membawa masalah ini ke Mahkamah Internasional yang berkedudukan di Den Haag,Belanda. Pada pertemuan di Kuala Lumpur pada tanggal 6-7 Oktober 1996 pemimpin kedua Negara tersebut menyepakatai rekomendasi untuk menyelasaikan masalah tersebut melalui jalur hukum ke Mahkamah Internasional dan mereka harus berjanji untuk menerima apapun hasil pengadilan sebagai keputusan final.
Karena itu keputusan sepenuhnya berada di tangan Mahkamah Internasioanl. Indonesia dan Malaysia hanya berkewajiban menyampakan posisinya melalui written pleadings kepada Mahkamah Internasional pada tanggal 2 November 1999 dan reply pada tanggal 2 Maret 2001. Selanjutnya Proses oral hearings dari pihak Indonesia dan Malaysia dilaksanakan pada tanggal 3-12 Juni 2002.
Setelah proses ini berakhir, berarti berakhir pula keterlibatan idonesia dan Malaysia dalam proses persidangan Mahkamah Internasional. Keputusan sepenuhnya ditentukan oleh Majelis Hakim yang berjumlah 18 orang dan dipimpin oleh Hakim Gilbert Guillaume asal Perancis. Dalam pengamilan keputusan ini Indonesia dan Malaysia tidak dapat menempatkan wakil dari negaranya sendir. Mereka harus menunjuk hakim dari Negara lain yang memerankan diri sebagai diplomat dari kedua Negara. Hakim ad hoc yang ditunjuk Indonesia adalah hakim Thomas Frank dari Amerika Serikat dan Hakim ad hoc yang ditunjuk Malaysia adalah Hakim weeramantry dari Sri Langka.
Pada tahap pengambilan keputusan masalah persengketaan ini, Mahkamah Internasional menerapkan proses persidangan yang dapat dikatakan merujuk pada praktek diplomasi tradisional. Sejak Proses oral hearings sampai diputuskannya perkara , kedua pihak yang bersengketa maupun public internasional sama sekali tidak mengetahui jalannya persidangan karena Mahkamah Internasional merahasiakan jalannya persidangan. Kerahasiaan itu dibuktikan dengan tidak diperbolehkannya pihak Indonesia dan Malaysia untuk bertemu dengan hakim diluar persidangan, sekalipun pertemuan itu dengan hakim ad hoc yang telah ditunjuk oleh kedua Negara yang besengketa.
Selain itu persidangan kali ini berbeda pada persidangan pada umumnya, jalannya proses persidangan di Mahkamah Internasional tidak dapat diliputi oleh pers. Majelis Hakimpun tidak pernah mengumumkan hasil-hasil yang telah dicapai selama persidangan berjalan kecuali hasil akhir keputusan yang tetap dan mengikat. Jadi Majelis Hakim benar-benar melaksanakan persidangan secara rahasia, tertutup, diam-diam. Artinya praktek diplomasi tradisional yang pernah mewarnai pentas diplomasi di masa sebelum Perang Dunia I masih tetap dilaksanakan di era keterbukaan skarang ini.
Dan Pada akhirnya tanggal 17 Desember 2002, Mahkamah Internasional memutuskan bahwa Malaysia lah yang memiliki hak kedaulatah penuh atas Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan. Keputusan ini mengandung arti bahwa Malaysia mengalahkan Indonesia dalam pentas diplomasi internasional, dan Indonesia harus menerima kekalahan itu tanpa syarat, sebab keputusan itu bersifat final dan mengikat.
BAB IV
ANALISIS
Kasus sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan ini bukan diawali di tahun 1969 akan tetapi sudah terjadi semenjak abad XVII pada masa penjajahan dan kemudian dapat diselesaikan pada konvensi tahun 1891 antara Inggris dan Belanda.
Semenjak berlangsungnya Konvensi tahun 1891 antara pemerintah Hindia-Belanda dan protektorat Inggris tersebut, Pasal I menyebutkan batas wilayah yang dikuasai Hindia-Belanda dan wilayah protektorat Inggris di Kalimantan Timur, didasarkan atas garis lintang 4°10 Utara. Pasal IV, selanjutnya perbatasan pulau-pulau yang terletak disebelah timur Kalimantan yang meliputi Pulau Sebatik berdasarkan garis lintang 4°10 utara.
Dalam pasal V, disebutkan garis batas yang tersebut dalam pasal I dan IV diatur oleh kedua belah pihak dan ditentukan kemudian. Sebagai tindak lanjut sebagai protocol London yang ditandatangani oleh kedua belah pihak pada tanggal 26 September 1915, ditetapkan perbatasan wilayah yang dikuasai Hindia Belanda berdasarkan pasal I dan IV konvensi London (1891) adalah garis batas yang ditarik pada lintan 4º10 Utara ke arah Timur. Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan berada di sebelah selatan lintang 4º10 Utara, berarti kedua pulau tersebut merupakan milik pemerintahan Hindia Belanda.
Akan tetapi ketentuan yang tercantum dalam pasal IV hasil konvensi tersebut ditafsirkan secara berbeda oleh Indonesia dan Malaysia. Indonesia menganggap bahwa batas pembagian dapat diperpanjang ke arah timur sehingga menempatkan pulau Sipadan dan Ligitan berada di posisi sebelah selatan. Sedangkan Malaysia menganggap pembagian wilayah berhenti hanya pada pulau Sebatik saja dan tidak tembus ke laut sehingga pulau Sipadan dan Ligitan bukan milik Indonesia.
Kemudian pada tahun 1969 diadakan perundingan mengenai batas landas kontinen antara Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan Malaysia di Kuala Lumpur pada tanggal 9-12 September 1969. Di dalam perundingan tersebut mereka sama-sama mengklaim Pualu Sipadan dan Pulau Ligitan merupakan bagian dari wilayahnya masing-masing. Di tahun 1969 inilah dapat dikatakan titik mengkristalnya sengketa kedaulatan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan antara Indonesia dengan Malaysia, namun bukan merupakan awal lahirnya sengketa.
Dalam perjanjian tersebut menghasilkan kesepakatan bahwa Indonesia dan Malaysia diminta agar menahan diri untuk tidak melakukan kegiatan-kegiatan yang menyangkut kedua pulau tersebut sampai penyelesaian masalah sengketa itu selesai. Akan tetapi pada tahun 1970 Malaysia melakukan tindakan sepihak dengan menerbitkan peta yang memasukkan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan kedalam wilayah nasionalnya, dan beberapa bulan kemudian melakukan pembangunan dan pengelolaan fasilitas-fasilitas wisata dikedua pulau tersebut. Tetapi jauh sebelimnya Malaysia sudah mempunyai perencanaan yang matang untuk membangun infrastruktur di kedua pulau tersebut sementara Indonesia seolah-olah mengabaikan pulau tersebut.
Dalam hal ini diperkirakan Malaysia mengklaim Pilau Sipadan dan Pulau Ligitan ini adalah untuk kepentingan nasionalnya, yaitu sumber daya alam minyak dan gas selain itu dari letak geografisnya Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan terletak di daerah yang strategis. Dari pihak Indonesianya sendiri bersih kukuh mempertahankannya karma memang secara BZEE Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan merupakan wilayah Indonesia. Di perairan ZEE ini, Indonesia mempunyai hak berdaulat atas kekayaan alam di situ dan kewenangan melindungi lingkungan, mengatur penelitian ilmiah maritime dan pemberian izin kepada pihak asing yang akan melakukan penelitian ilmiah dan atau mendirikan bangunan (intstalasi, pulau buatan,dll).BZEE juga belum memiliki keabsahan atau pengakuan yang pasti .
Sejak terjadinya perbedaan penafsiran itu, Pemerintahan Indonesia dan Pemerintahan Malaysia mencoba untuk menyelesaikan masalah persengketaan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan itu tidak dengan jalur kekerasaan melainkan menyelesaikan konflik tersebut secara damai, sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 33 ayat (1) Piagam PBB,yaitu secara Diplomatis atau Jalur Hukum melalui Mahkamah Internasional.
Ternyata langkah pertama yang di coba oleh kedua Negara tersebut adalah melalui jalur Diplomatis. Diawali dengan pertemuan antara Mentri Luar Negeri Indonesia dengan Mentri Luar Negeri Malaysia pada tahun 1980, dimana pada pertemuan ini dinyatakan bahwa kedudukan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan masih dalam Status Qou.
Kemudian pada tahun 1989 Presiden RI Soeharto dan Perdana Menteri Malaysia bertemua di Yogyakarta, kemudian mereka membuka kembali pembahasan tentang sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan. Pembahasaan itu menghasilkan kesimpulan bahwa mereka sepakat untuk menyelesaikan sengketa tersebut secara bilateral,akan tetapi setelah dicoba melalui jalur tersebut kedua pemimpin Negara itu menyatakan bahwa sengketa mengenai kedua pulau tersebut sulit untuk diselesaikan dalam kerangka perundingan bilateral. Pada tanggal 11 Juni 1989, diadakan pertemuan keenambelas komite perbatasan bersama (General border Committee/GMC) Indonesia dengan Malaysia, untuk tidak melakukan aktivitas di kedua pulau tersebut.
Setelah beberapa tahun kemudian perundingan sengketa tersebut dimulai kembali pada tahun 1991 melalui pembicaraan di tingkat pejabat tinggi dalam Komite Bersama Indonesia-Malaysia. Hasil pertemuan pejabat tinggi menyepakati perlunya dibentuk Komisi Bersama dan kelompok Kerja Bersama (Joint Commission Meeting/JCM & Joint Working Groups/JWG). Pada tanggal 22 Juni 1991 berlangsung pertemuan para Menteri Luar Negeri ASEAN di Kuala Lumpur dan akhirnya berhasil membentuk komisi bersam. Dari terbentuknya komisi bersama dan kelompok kerja bersama tersebut, diadakan beberapa kali pertemuan yang khusus membahas kasusu sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan ini.
Pertemuan pertama dilakukan pada tanggal 7 Oktober 1991 oleh Komisi bersama Indonesia-Malaysia (Joint Commission Meeting/JCM) di Kuala Lumpur. Dalam pertemuan ini berhasil membentuk sub-komisi untuk membantu Indonesia dan Malaysia mengatasi sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan.
Tanggal 28 Januari 1992 berlangsung pertemuan Komisi perbatasan Bersama (General border Committee/GMC) Indonesia-Malaysia ke duapuluh di Kuala Lumpur. Di dalam pertemuan ini Indonesia dan Malaysia menyepakati diadakannya suatu kebijakan non-agresi terhadap Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan. Kemudian pada tanggal 6 Juli 1992, diadakan pertemuan kelompok kerja gabungan (Joint Working group) tentang Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan di Jakarta, kedua Negara tersebut saling menyerahkan dokumen dan peta yang dimilikinya.
Pada tanggal 5 Februari 1993 di Jakarta berlangsung pertemuan Komisi bersama (Joint Commission Meeting/JCM) Indonesia-Malaysia. Dalam pertemuan ini Indonesia dan Malaysia sepakat untuk menangguhkan masalah sengketa Sippadan dan Ligitan untuk dibicarakan dalam pertemuan lanjutan kelompok kerja bersama(Joint Working Group/JWG) . Tanggal 17 Juli 1993 Presiden RI Soeharto dengan Perdana Menteri Malaysia Mahatir Mohammad mengadakan pertemuan atas undangan Perdana Menteri Mahatir, mereka sepakat untuk menyelesaikan sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan.
26 januari 1994 Kelompok kerja bersama(Joint Working Group/JWG) melakukan pertemuan lagi di Kula Lumpur. Hasil dari pertemuan ini adalah mereka sepakat bahwa cara penyelesaian sengketa Pualu Sipadan dan Ligitan ini dilakukan berdasarkan prinsip2 hukum Internasional. Menurut JG Strike Hukum Internasional dapat dirumuskan sebagai sekumpulah hukum (body of Law) yang sebagian besar terdiri dari asas-asas dan karena itu biasanya ditaati dalam hubungan antara negara-negara satu sama lain yang juga meliputi :
• Peraturan - peraturan hukum mengenai pelaksanaan fungsi lembaga-lembaga dan organisasi-organisasi itu masing-masing serta hubungannya dengan negara-negara dan individu-individu.
• Peraturan-peraturan hukum tersebut mengenai individu-individu dan kesatuan-kesatuan bukan negara, sepanjang hak-hak atau kewajiban-kewajibanindividu dan kesatuan itu merupakan masalah Internasioanal.
Sedangkan Menurut Prof. Dr Muchtar Kusumaatmadja (pengantar Hukum Internasioal Hukum Internasional ialah keseluruhan Kaidah dan asas yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara antara :
• Negara dengan Negara
• Negara dengan subjek hukum lain bukan negara atau subjek hukum bukan negarasatu sama lain
Kemudian pada tanggal 7 September 1994 dilangsungkan pertemuan yang ketiga JWG untuk ketiga kalinya. Dalam pertemuan ini Malaysia mengajak Indonesia menyelesaikan sengketa ini ke Mahkamah Internasional (International Court of Justice/ICJ),tetapi Indonesia menyatakan bahwa ASEAN lebih sesuai untuk menyelesaikan sengketa ini karena selain merupakan anggota PBB Indonesia dan Malaysia juga merupakan Negara pendiri dan anggota ASEAN.
Alasan lain Indonesia memilih ASEAN sebagai penyelesai masalah sengketa ini adalah karena ketika tahun 1976, Traktat Persahabatan dan Kerja Sama di Asia Tenggara atau TAC (Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia) dalam KTT pertama ASEAN di pulau Bali ini antara lain menyebutkan bahwa akan membentuk Dewan Tinggi ASEAN untuk menyelesaikan perselisihan yang terjadi di antara sesama anggota ASEAN, akan tetapi pihak Malaysia menolak beralasan karena terlibat pula sengketa dengan Singapura untuk klaim Pulau Batu Puteh sengketa kepemilikan Sabah dengan Filipina serta sengketa Kepulauan Spratley di Laut Cina Selatan dengan Brunei Darissalam Filiphina, Vietnam, Cina dan Taiwan. Pihak Malaysia pada tahun 1991 lalu menempatkan sepasukan polisi hutan (setara Brimob) melakukan pengusiran semua warga negara Indonesia serta meminta pihak Indonesia untuk mencabut klaim atas kedua pulau tersebut ,
Pada tanggal 6 – 9 Juni 1995 diadakan pertemuan oleh Komisi bersama (Joint Commission Meeting/JCM), hasil dari pertemuan ini adalah mereka sepakat untuk segera menyelesaikan sengketa ini secara bilateral dengan jalur Konsultasi Informal yang bersifat Politis di tingkat menteri .
Namun dari serangkaian pertemuan JCM dan JWG yang dilaksanakan tidak membawa hasil, kedua pihak berpegang (comitted) pada prinsipnya masing-masing yang berbeda untuk mengatasi kebuntuan. Pemerintah RI menunjuk Mensesneg Moerdiono dan dari Malaysia ditunjuk Wakil Perdana Mentri Datok Anwar Ibrahim sebagai Wakil Khusus pemerintah untuk mencairkan kebuntuan forum JCM/JWG. Namun dari empat kali pertemuan di Jakarta dan di Kualalumpur tidak pernah mencapai hasil kesepakatan. Akhirnya kedua wakil tersebut memunculkan rekomendasi untuk menyelesaikan sengketa kedaulatan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan ini melalui Jalur Hukum yaitu dengan Menyerahkannya ke Mahkamah Internasional (International Court of Justice/ICJ).
Pada pertemuan tanggal 6-7 Oktober 1996 di Kualalumpur Presiden Soeharto dan Perdana Mentri Mahathir Muhammad sepakat untuk menyetujui rekomendasi dari Mensesneg Moerdiono dan Wakil Perdana Menteri Anear Ibrahim untuk menyelesaikannya melalui Mahkamah Internasional. selanjutnya tanggal 31 Mei 1997 disepakati “Spesial Agreement for the Submission to the International Court of Justice the Dispute between Indonesia and Malaysia concerning the Sovereignty over Pulau Sipadan and Pulau Ligitan”. Pada tanggal 2 November 1997 Special Agreement yang telah ditanda tangani itu kemudian secara resmi disampaikan ke Mahkamah Internasional, melalui suatu “joint letter” atau notifikasi bersama.
Masalah pokok yang diminta dari Mahkamah Internasional adalah apakah kedaulatan atas Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan berdasarkan perjanjian yang ada, bukti serta dokumen yang tersedia, merupakan milik Indonesia atau Malaysia. Selama ini Indonesia mendasarkan kepemilikannya atas Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan pada pasal IV konvensi 1891 antara Belanda dan Inggris (“Conventional Title”). Sedangkan Malaysia selama ini mendasarkan kepemilikannya atas kedua pulau tersebut pada suatu rangkaian transksi (“Chain of Title”) dengan dua alur, yaitu alur Sultan Sulu Spanyol-Amerika Serikat-Inggris-Malaysia dan alur Sultan Sulu-Den and Overback -BNBC-Malaysia. Selain itu, Malaysia juga mengajukan argument“effectivities”- untuk membuktikan siapa yang lebih dulu masuk ke kawasan itu. Malaysia berpendirian bahwa kedaulatannya atas kedua pulau tersebut diperoleh dari fakta bahwa tahun 1978 terbukti Inggris secara damai dan terus menerus mengadministrasi Pulau Sipadan dan Pulau ligitan.
Ada 77 peta yang harus dicetak pengadilan. Dan Indonesia mengatakan tidak ada argumentasi hokum yang meyakinkan tentang kepemilikan Sultan Sulu. Apalagi dalam peta perjanjian spanyol dengan Amerika, keduanya tidak dimasukkan. Pada bulan Juni 2000, ketika kedua Negara mempersentasikan 15 peta, terlihat bahwa dalam sepuluh peta yang dikeluarkan Malaysia, ketentuan garis Luntang Utara diakui. Sedangkan dalam tujuh peta lain yang dibuat antara tahun 1891 dan 1978 oleh Amerika Serikat dan Inggris, bagian Sabah minus Sipadan dan Ligitan. Tapi argument kartografi dari konvensi itu ditolak oleh Malaysia dengan alas an adanya kata disclaimer pada peta, yang berarti peta itu tidak otomatos menunjukkan status hokum wilayah. Dalam bahasan hokum itu berarti, meskipun Pulau Sipadan dan LIgitan masuke ke kawasan Belanda, belum tentu sah secara hukum. Alas an lain yang digelar tim pembela Malaysia, dari 22 peta Indonesia dan Belanda antara tahun 1891 dan 1992 tak satupun mencantumkan kedua pulau itu dalam peta Indonesia. Jadi keduanya dianggap milik kesultanan Sabah yang kelak bergabung dengan Malaysia.
Tetapi Profesor. Etty agus guru besar hukum laut dan hukum internasional dari universitas padjajaran sekaligus tim satuan tugas khusus Sipadan dan Ligitan punya pendapat lain. Menurut Dia, argument effectif dari Malaysia kurang kuat,karena Inggris hanya menetapkan pulau itu sebagai kawasan konservasi penyu pada awal abad ke-20. Tidak ada bukti mereka masuk dan mengelola kawasan pulau itu.
Sesuai dengan prosedur Mahkamah Internasional, untuk membuktikan klaimnya, Indonesia dan Malaysia harus menyampaikan “Written Pleadings” (argumentasi tertulis) dan ”Oral Hearings” (argumentasi lisan).
Dalam Argumentasi tertulis dibagi tiga tahapan yaitu prnysampaian dasar kepada Mahkamah Memorial pada tanggal 2 November 1999, atas Memorial yang disampaikan kedua Negara diberi kesempatan untuk menjawab dalam bentuk“Counter Memorial” pada tanggal 2 Agustus 2000. Counter Memorial yang disampaikan oleh masing-masing Negara kemudian dijawab kembali dalam bentuk “reply” pada 2 Maret 2001. akan tetapi Argumen tertulis ini dianggap rampung.
Selanjutnya kedua Negara tersebut harus menyampaikan ”Oral Hearings” (argumentasi lisan), yang merupakan proses tahap akhir penyelesaian sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan di Mahkamah Internasional yang berlangsung dari tanggal 3-12 Juni 2002. Dalam tahap ini Indonesia diwakili Mentri Luar Negeri Hassan wirajuda sedangkan Malaysia diketuai oleh Tan Sri Abdul Kadir Mohammad yang merupakan Duta Besar Kelililing (Ambassador al Large). Pada kesempatan itu, Mentri Luar Negeri Hassan wirajuda selaku pemegang kuasa hokum RI, menyampaikan argument lisannya “agent speech” , yang kemudian diikuti oleh persentasi argumentasi yuridis yang disampaikan Tim Pengacara RI hingga tanggal 4 juni 2002. Pada tanggal 6-7 Juni 2002 Malaysia akan menyampaikan argument lisannyaserta menyampaikan jawaban atas aegumentasi lisan Indonesia. Kemudian pada tanggal 10 Juni Indonesia akan mnyampaikan jawaban atas argument lisan Malaysia. Mahkamah Internasional kemudian menyatakan bahwa keputusan akhir atas sengketa tersebut akan ditetapkan pada bulan Desember tahun 2002 .
Argumen lisan Agent RI pada pokoknya berisi hal-hal sebagai berikut :
1. Pengajuan sengketa ini ke Mahkamah Internasional merupakan cerminan dari keinginan bersama Indonesia dan Malaysia, sebagai sesama anggota ASEAN, untuk menyelesaikan sengketa kepemilikan atas Pulau Sipadan dan Ligitan secara damai melalui proses hukum.
2. Kronologi singkat tentang asal mula timbulnya sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan: Kedua negara sebelum tahun 1969, telah menghormati garis 4° 10' LU sesuai Konvensi 1891 antara lnggris dan Belanda yang menuntaskan permasalahan batas antara kedua pihak di wilayah Kalimantan. Indonesia berpendirian bahwa Pulau Sipadan dan Ligitan yang terletak di sebelah selatan garis 4°10' LU berdasarkan Konvensi tersebut merupakan wilayah Indonesia.
3. Pengungkapan tindakan sepihak Malaysia setelah perundingan tahun 1969 yang tidak mencerminkan adanya "good faith", utamanya dengan cara menerbitkan peta yang memasukkan kedua pulau tersebut ke dalam wilayah nasionalnya serta pengelolaan dan pembangunan fasilitas wisata di kedua pulau itu. Sedangkan Indonesia senantiasa secara konsisten menghormati apa yang diinterpretasikan sebagai "status quo" sebagaimana disepakati dalam perundingan antara kedua negara pada tahun 1969. Indonesia telah melakukan protes-protes atas tindakan-tindakan unilateral Malaysia tersebut dan menahan diri untuk tidak melakukan hal yang sama demi menghormati semangat kerjasama dan meningkatkan budaya penyelesaian sengketa secara damai di kawasan. Oleh karena itu, Indonesia berpendapat bahwa semua kegiatan yang dilakukan Malaysia setelah tahun 1969 yang terus menerus diprotes Indonesia, tidak relevan untuk dijadikan dasar pertimbangan hukum dalam penetapan kedaulatan mengingat sengketa atas kedua pulau tersebut muncul pada tahun tersebut.
Dalam menghadapi dan menyiapkan materi tersebut diatas Pemerintah Repulik Indonesia membentuk Satuan Tugas Khusus (Satgassus) Penanganan Masalah Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan yang anggotnya terdiri dari berbagai instansi terkait yaitu : Departemen Luar Negri, Departemen Dalam Negeri, Departemen Pertahanan, Markas Besar Tentara Nasioanl Indonesia, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Dishidros TNI AL, Bupati Nunukan, pakar kelautan dan pakar hukum laut International.
Indonesia mengangkat “co agent” RI di Mahkamah Internasional/ICJ yaitu Dirjen Pol Deplu, dan Dubes RI untuk Belanda. Indonesia juga mengangkat Tim Penasehat Hukum Internationl (International Counsels) yang berkemampuan dan berpengalaman luas dalam berpekara di Mahkamah Internasional, yaitu :
Prof. Alain Pellet (Perancis), Guru Besar pada Universitas Paris X-Nanterre, anggota dan mantan ketua International Law Commission;
Prof. Alfred Soons (Belanda), Guru Besar Hukum Intemasional Publik, Universitas Utrecth;
Sir Arthur Watts, KCMG, QC (Inggris), anggota dan mantan Presiden Asosiasi Hukum Internasional (Cabang Inggris), Pengacara;
Rodman R. Bundy (Amerika Serikat), Pengacara, anggota Asosiasi Pengacara Roma, Frere Cholmeley/Eversheeds, Paris, sebagai Koordinator;
Ms. Loretta Malintoppi (Perancis), Pengacara, anggota Assosiasi Pengacara Roma, Frere Cholmeley/Eversheeds, Paris;
Para peneliti teknis masalah perbatasan dan pakar kartografi.
Setelah Mahkamah Internasional mendengarkan argumen dari Kedua Negara tersebut kemudian pada hari Selasa 17 Desember 2002 ICJ mengeluarkan keputusan tentang kasus sengketa kedaulatan Pulau Sipadan-Ligatan antara Indonesia dengan Malaysia. Hasilnya, dalam voting di lembaga itu, Malaysia dimenangkan oleh 16 hakim, sementara hanya 1 orang yang berpihak kepada Indonesia. Dari 17 hakim itu, 15 merupakan hakim tetap dari Mahkamah Internasional, sementara satu hakim merupakan pilihan Malaysia dan satu lagi dipilih oleh Indonesia. Kemenangan Malaysia, berdasarkan pertimbangan effectivity (tanpa memutuskan pada pertanyaan dari perairan teritorial dan batas-batas maritim), yaitu pemerintah Inggris (penjajah Malaysia) telah melakukan tindakan administratif secara nyata berupa penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu sejak tahun 1930, dan operasi mercu suar sejak 1960-an. Sementara itu, kegiatan pariwisata yang dilakukan Malaysia tidak menjadi pertimbangan, serta penolakan berdasarkan chain of title (rangkain kepemilikan dari Sultan Sulu) akan tetapi gagal dalam menentukan batas di perbatasan laut antara Malaysia dan Indonesia di selat Makassar .
Adapun keputusan Mahkamah Internasional dan Pokok Pertimbangannya, yaitu :
Menolak argumentasi Malaysia bahwa kedua pulau sengketa pernah menjadi bagian dari wilayah yang diperoleh Malaysia berdasarkan kontrak pengelolaan privat Sultan Sulu dengan SenOverbeck/ BNBC/ Inggris/ Malaysia. Mahkamah juga menolak argumentasi Malaysia bahwa kedua pulau termasuk dalam wilayah Sulu/Spanyol/AS/Inggris yang kemudian diserahkan kepada Malaysia berdasarkan terori rantai kepemilikan (Chain of Title Theory). Menurut Mahkamah tidak satupun dokumen hukum atau pembuktian yang diajukan Malaysia berdasarkan dalil penyerahan kedaulatan secara estafet ini memuat referensi yang secara tegas merujuk kedua pulau sengketa.
Menolak argumentasi Indonesia bahwa kedua pulau sengketa merupakan wilayah berada di bawah kekuasaan Belanda berdasarkan penafsiran atas pasal IV Konvensi 1891. penafsiran Indonesia terhadap garis batas 4° 10' LU yang memotong P. Sebatik sebagai allocation line dan berlanjut terus ke arah timur hingga menyentuh kedua pulau sengketa juga tidak dapat di terima Mahkamah. Kejelasan perihal status kepemilikan kedua pulau tersebut juga tidak terdapat dalam Memori van Toelichting. Peta Memori van Toelichting yang memberikan ilustrasi sebagaimana penafsiran Indonesia atas pasal IV tersebut dinilai tidak memiliki kekuatan hukum karena tidak menjadi bagian dari konvensi 1891. mahkamah juga menolak dalil alternatif Indonesia mengingat kedua pulau sengketa tidak disebutkan di dalam perjanjian kontrak 1850 dan 1878 sebagai bagian dari wilayah Kesultanan Bulungan yang diserahkan kepada Pemerintah Kolonial Belanda.
Penguasaan efektif dipertimbangkan sebagai masalah yang berdiri sendiri dengan tahun 1969 sebagai critical date mengingat argumentasi hukum RI maupun argumentasi hukum Malaysia tidak dapat membuktikan klaim kepemilikan masing-masing atas kedua pula yang bersengketa.
a) Berkaitan dengan pembuktian effectivities Indonesia, Mahkamah menyimpulkan bahwa tidak ada bukti-bukti kuat yang dapat mewujudkan kedaulatan oleh Belanda atau Pulai Sipadan dan Pulau Ligitan. Begitu pula halnya, tidak ada bukti-bukti dan dokumen otentik yang dapat menunjukkan adanya bentuk dan wujud pelaksanaan kedaulatan Indonesia atas kedua pulau dimaksud hingga tahun 1969. Mahkamah tidak dapat mengabaikan fakta bahwa UU No. 4/Prp/1960 tentang Perairan yang ditetapkan pada 18 Pebruari 1960-yang merupakan produk hukum awal bagi penegasan konsep kewilayahan Wawasan Nusantara- juga tidak memasukkan Sipadan-Ligitan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
b) Berkaitan dengan pembuktian effectivies Malaysia, Mahkamah menyimpulkan bahwa sejumlah dokumen yang diajukan menunjukkan adanya beragam tindakan pengelolaan yang berkesinambungan dan damai yang dilakukan pemerintah kolonial Inggris sejak 1917. serangkaian upaya Inggris tersebut terwujud dalam bentuk tindakan legislasi, quasi yudisial, dan administrasi atas kedua pulau sengketa, seperti :
Pengutipan pajak terhadap kegiatan penangkapan penyu dan pengumpulan telur penyu sejak 1917.
Penyelesaian sengketa dalam kegiatan pengumpulan telur penyu di P. Sipadan pada tahun 1930-an;
Penetapan P. Sipadan sebagai cagar burung, dan
Pembangunan dan pemeliharaan mercu suar sejak tahun 1962 di P. Sipadan dan pada tahun 1963 di P. Ligitan
Mengetahui Keputusan Mahkamah Internasional bahwa pada akhirnya Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan jatuh ketangan Pihak Malaysia membuat Pemerintah Indonesia menyatakan rasa kecewa yang mendalam bahwa upaya yang dilakukan oleh empat pemerintah Indonesia sejak tahun 1997 ternyata tidak membuahkan hasil. Namun Indonesia berkewajiban untuk menghormati Persetujan Khusus untuk bersama-sama mengajukan kedua sengketa ini ke Mahkamah Internasional pada 13 Mei 1997. dan sesuai dengan kesepakatan antara Indonesia dengan Malaysia bahwa tidak ada banding dalam keputusan ini,Sebab keputusan Mahkamah Internasional ini bersifat final dan mengikat.
Dalam urusan ini Pemerintah Indonesia juga percaya bahwa seluruh proses peradilan telah berlangsung secara adil dan transparan. Tentang tindak lanjut pasca keputusan MI, hal pertama yang dilakukan oleh Indonesia adalah merumuskan batas-batas negara dengan negara-negara terdekat. Untuk batas Pulau Sipadan dan Ligitan akan ditarik batas laut wilayah sejauh 12 mil dari lingkungan kedua pulau tersebut.
Adapun biaya yang dikeluarkan oleh Indonesia hingga proses penyelesaian kasus sengketa ini mencapai Rp. 16.000.000.000 (enambelas miliar), yang sebagian besar digunakan untuk membayar pengacara. Tetapi biaya itu bukan sebuah kerugian, karena hal itu merupakan konsekuensi dari sebuah perjuangan. Ini bisa dibilang sebuah perjuangan demi tercapainya cita-cita dan juga merupakan bukti bahwa indonesia masih pedulu terhadap kedua pulau tersebut.
BAB V
PENUTUP
Kesimpulan
Sengketa antara Indonesia dengan Malaysia yang dibahas disini adalah sengketa kedaulatan atas pulau kecil yang terletak di Lepas Pantai Timur laut Kalimantan, yaitu Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan. Sengketa yang mempunyai akar sejarah yang kompleks tersebut mengkristal pada saat dilaksanakannya perundingan untuk menentukan batas landas kontinen antara Indonesia dan Malaysia pada tahun 1969.
Pada saat itu, kedua belah pihak sama-sama menyatakn bahwa pulau itu berada dibawah kedaulatannya, hal itu dipicu oleh perbedaan penafsiran dari Indonesia dan Malaysia menyangkut pasal IV konvensi 1891 antara Belanda dengan Inggris.
Konvensi itu sendiri dilatar belakangi oleh ketidak jelasan batas antara wilayah yang dimiliki oleh Belanda dan Inggris di Pulau Kalimantan sebagai akibat dari ketidak jelasan batas wilayah antara Kesultanan Bulungan dengan Kesultanan Sulu yang sebelumnya menguasai wilayah tersebut.
Berbagai upaya penyelesaian secara damai telah ditempuh oleh kedua belah pihak yaitu Indonesia dan Malaysia, cara damai yang ditempuh Indonesia dan Malaysia ini akan memberikan dampak yang besar bagi kawasan Asia Tenggara. Untuk menyelesaikan sengketa ini, dimulai dengan cara diplomatik, yang dilakukan sejak tahun 1969 sampai dengan 1997. Berbagai perundingan bilateral yang telah dilakukan delegasi-delegasi Indonesia dan Malaysia dalam kurun waktu tersebut ternyata tidak dapat membuahkan hasil yang memuaskan bagi Indonesia dan Malaysia dalam penyelesaian sengketa tersebut. Oleh karena itu, pada tanggal 31 Mei 1997 melalui Special Agreement kedua belah pihak sepakat untuk menyelesaikan sengketa ini melalui jalur hukum yaitu dengan menyerahkannya kepada Mahkamah Internasional ( ICJ) yang berkedudukan di Den Hag,Belanda.
Sebelumnya Indonesia menolak untuk melakukan jalur hukum melalui Mahkamah Internasional karena Indonesia lebih ingin menyelesaikan masalah sengketa itu melalui Dewan Tinggi (High Court) ASEAN. Langkah itu selaras dengan Traktat Persahabatan dan Kerja Sama di Asia Tenggara atau TAC (Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia). Traktat yang ditanda tangani dalam KTT I ASEAN di Bali, 1976 itu menyebutkan,akan membentuk Dewan Tinggi ASEAN untuk menyelesaikan perselisihan yang terjadi diantara sesama anggota ASEAN.
Namun, Malaysia menolak tegas keinginan itu, Malaysia ingin membawa masalah itu ke Mahkamah Internasional yang dianggap lebih netral. Tidak heran jika Malaysia bersih keras untuk menolak usulan Indonesai tersebut,karena Malaysia memiliki sengketa serupa hampir dengan seluruh negara ASEAN.
Dan akhirnya saat berkinjung ke Kuala Lumpur,Presiden Soeharto menyetujui usulan Perdana Mentri Mahatir dan rekomendasi dari Mensesneg Moerdiono dan Wakil Perdana Menteri Anwar Ibrahim untuk membawa kasus sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan ke Mahkamah Internasional (ICJ) yang dipandang sebagai lembaga yang memiliki cukup kemampuan untuk mempertimbangkan masalah tersebut.
Presiden Soeharto memandang ICJ sebagai lembaga paling netral untuk menyelesaikan masalah yang sudah menjadi warisan dari zaman Belanda tersebut. Dan setelah melalui masa tiga tahun terakhir,dari Orde Baru hingga Orde Reformasi pada Orde Sekarang ini, Sipadan dan ligitan baru bisa diputuskan.
Dalam berbagai tahap pemeriksaan di Mahkamah Internasional, baik indonesia maupun Malaysia telah mengemukakan berbagai argumen baik argument tertulis“Written Pleadings” maupun argument lisan ”Oral Hearings” yang dianggap mendukung Klaimnya masing-masing.
Akhirnya setelah pertimbangan berbagai argument yang dikemukakan oleh Indonesia maupun Malaysia, pada tanggal 17 Desember 2002, Mahkamah Internasional telah memberikan putusannya atas sengketa Pulau sipadan dan Pulau Ligitan tersebut. Dalam putusannya, Mahkamah Internasional menyatakan bahwa kedaulatan atas pulau Sipadan dan Pulau Ligitan ada di tangan Malaysia. Putusan ini diambil oleh Mahkamah Internasional dengan mempertimbangkan unsur effectivities sebagai suatu unsur yang berdiri sendiri,terlepas dari unsur Conventional Title maupun Chain of Title. Tidak seperti argument Indonesia dan Malaysi, dimana unsur effectivities ini hanya dipandang sebagai unsur tambahan yang merupakan penegasan kembali dari kedaulatan yang telah diperoleh berdasarkan perjanjian Intenasional.
Putusan tersebut diambil dengan perbandingan 16 : 1, dimana satu-satunya hakim yang mempunyai pendapat berbeda, bahwa kedaulatan atas pulau Sipadan dan Pulau ligitan seharusnya ada di tangan Indonesia adalah hakim ad hoc Thomas J. Franck.
Mencermati ketiga dasar hokum dari Mahkamah Internasional tersebut yaitu keberadaan teru menerus, penguasaan effektif dan pelestarian alam untuk penyelesaian sengketa territorial lainnya. Bukan tidak mungkin seperti terjadi di dunia hokum, ketiga pertimbangan tersebut akan menjadi yurispodensi baru dalam memutuskan masalah sengketa territorial.
Dengan segala daya upaya Indonesia berusaha mempertahankan kedua pilau tersebu. Namun dasar konvensi 1891 antara Inggris dengan Belanda yang digunakan Indonesia ternyata tidak “ampuh”. Karena, pijakkan indonesia, garis paralel 4°10 menit Lintang Utara yang disebut dalam pasal IV Konvensi itu,tidak bisa diterima.
Mahkamah Internasional lebih memilih menggunakan dasar kenyataan Inggris telah menjalankan administrasi kedua pulau tersebut sekitar tahin 1930-an. Setidaknya waktu itu Inggris mengeluarkan ordonasi perlindungan satwa burung, memungut pajak bagi para pengumpul penyu, dan menjalankan mercusuar pada tahun 1960-an. Asas effectivities atau penguasaan secara efektif inilah yang digunakan Mahkamah Internasional untuk memenangkan Malaysia.
Disatu sisi harus diakui, titik lemah Indonesia sudah terlihat dari awal. Indonesia telah memandang kedua pulau tersebut,ketika Indonesia menerbitkan perpu nomor 4 tahun 1960 tentang Perairan Indonesia, Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan tidak dicantumkan sebagi wilayah Negara Kesatuan Republik Indnesia. Dan memang bias dikatakan Indonesia melalaikan, bahkan tidak pernah menyentuh kedua pualu tersebut,antara lain karena terlalu taat pada kesepakatan status quo yang sebenarnya tidak terdokumentasi secara tertulis.
Oleh karena itu, suka tidak suka, harus diakui kesalahan ini pun tidak bisa sepenuhnya dibebankan kepada satu pihak. Terutama karena persoalan itu lebih merupkan warisan sejak abad ke-17, tepatnya dari tahun 1878 hingga abad ini. Dan tidak ada alas an pula jika seluruh bangsa merenungi perginya dua pulau yang luasnya tidak lebih dari seperempat Jakarta. Akan tetapijika mengambil hikmah pengalaman itu untuk menghadapi persoalan serupa dimasa datang.
Tetapi bagaimanapun hati para warga Negara Indonesia terasa gundah dan kecewa ketika pada akhirnya Mahkamah Internasional memutuskan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan menjadi hak milik dan masuk dalam wilayah kedaulatan Malaysia. Meski belum pernah ada bukti,Indonesia memiliki secarah sah kedua pulau tersebut, namun ada keinginan untuk memprotes atau setidaknya sedikit mempertanyakan keputusan itu. Sayang tangan ini sudah terikat perjanjian bersama (Special Agreement) yang menegaskan, putusan Mahkamah Internasional itu final dan mengikat.
Satu hal yang perlu disesali dalam mekanisme penyelesaian konflik Sipadan dan Ligitan ini adalah tidak dipergunakannya mekanisme regional ASEAN. ASEAN sebagai suatu forum kerja sama regional, sangat minimal perannya dalam pemecahan perbatasan.
Lepasnya Sipadan dan Ligitan dalam kaitannya dengan masalah pengisian konsep Negara kepualuan, telah mengingatkan kembali kepada pemerintah maupun masyarakat Indonesia pada umumnya akan pentingnya pengurusan pulau-pulau tersebut. Pasalnya selama ini seakan kita lupa betapa berartinya praktek pendudukan efektif terhadap pulau-pulau yang dianggap tak bertuan, pulau-pulau itu menjadi incaran negara-negara tetangga. Sejak Sipadan dan Ligitan lepas, Indonesia memiliki 17.506 pulau. Sebagian pulau sudah berpenghuni dan bernama. Akan tetapi masih banyak yang kosong dan tidak punya nama. Dan yang paling mengkhawatirkan tentu saja pulau-pulau yang berbatasan dengan negara lain.
Akibat jatuhnya Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan ke tangan Malaysia, terjadi dampak domestic yang tidak kalah hebatnya, banyak komentar maupun anggapan bahwa Departemen Luar Negri-lah penyebab utama lepasnya kedua Pualau tersebut mengingat seharusnya Departemen Luar Negeri dibawah pimpinan Mentri Luar Negri Hasan Wirajuda mampu mempertahankan Pulau sipadan dan Pulau Ligitan dengan kekuatan Diplomasinya. Namun, bukanlah merupakan hal yang bijaksana bila kita menyalahkan Deplu sebagai satu-satunya pihak yang menyebabkan lepasnya kedua pulau tersebut, mengingat kronologi konflik Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan yang sudah berumur lebih dai empat dasarwarsa tersebut.
Mungkin inilah secercah pencerahan terhadap bangsa yang tidak tertutup kemungkinan kehilangan “intrgritas” atau keutuhan atas Negara kesatuan kalau tidak cepat belajar terhadap bahaya yang ada di depan mata. Sedangkan terhadap dewan, seharusnya tidak menjadi patah semangat mempertanyakan keseriusan pemerintah mempertahankan nasib wilayah bangsa, meski penjelasnya hanya dijawab seorang mentri.
Saran
Sebagai poin akhir dalam penulisan makalah ini saya menuangkan beberapa saran yang semoga dapat direnungkan oleh para pembaca. Adapun saran yang saya sampaikan ialah :
1. Lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan ini sebenarnya peringatan penting bagi pemerintah untuk lebih memperhatikan pulau-pulau kecil yang bertebaran di Indonesia.
2. Pandangan bahwa kasus sengketa ini merupakan konsekuensi dari ketidak becusan pemerintah memandatkan dan memperhatikan pulau-pulau kecil di perbatasan padahal jika pemanfaatan ini di realisasikan pemerintah justru akan menghasilkan penambahan pendapatan untuk Negara.
3. Pemerintahan khususnya dan rakyat pada umumnya jangan hanya responsif ketika masalah telah muncul, tetapi haruslah bertindak preventif sebelum timbulnya masalah.
4. Pemerintah dan Departemen Luar Negri agaknya masih perlu membagi perhatiannya terhadap isu-isu konvensional seperti klaim territorial ini.
5. Sebagai sebuh Negara kepulauan, Indonesia perlu meneruskan pembicaraan-pembicaraan bilateral dengan semua Negara yang masih memiliki klaim tumpang tindih,seperti dengan Filipina, Vietnam dan singapura.
6. untuk msecara efektif dapat menguasai seluruh pulau yang berada di batas teritorial Negara Kesatuan Republik Indonesia ini, dibutuhkan kerja keras dan koordinasi dari semua lembaga yang berurusan dengan pembinaan pulau dan penjagaan wilayah laut RI.
DAFTAR PUSTAKA
1. Kusumaadmajdja, Mochtar dan R.agoe, Etty, Pengantar Hukum Internasional (Bandung : Alumni,2003, hal 164).
2. Drs.T may Rudy S.H MIR M,sc, Hukum Internasional I : Rafika Aditama.
3. Peter Malancuzuk, Aakehurst’s Modern Introduction to International Law (Ney York : Rout Ladge,2001: hal 273-274)
4. Djalal,Hasjim. 2002. Sistem Keamanan Perbatasan Indonesia. Jakarta : Depdagri.
5. Indonesia, “International Courtof Justice : Case Concerning Sovereignty Over Pulau Ligitan and Pulau Sipadan, Memorial Submitted by the Government of the Republic of Indonesia”, Vol.1 (Memorial of Indonesia) chap VIII, Point 86.
6. Charter of the United Nations (Piagam PBB pasal 33 ayat 1)
7. Energy Security and Southeast Asia : The Impact on Maritime Boundary and Territorial Disputes. Harvard Asia Quarterly. Fall 2005.
8. Arif, Negara Berpagar Belasan Ribu Pulau, Berbagai Sumber - Tempo, 08 Maret 2005.
9. Sipadan-Ligitan Jatuh ke Malaysia : Menlu kecewa, Indonesia Terima: Kompas, 18 Desember 2002.
10. http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/10/06/WAW/mbm.20081006.WAW128382.id.html
11. http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0212/19/ln/53884.htm
12. http://www.berlinonline.de/berlinerzeitung/archiv/.bin/dump.fcgi/1996/0712/none/0212/index.html
13. http://www.compas.com.
14. http://www3.itu.int/MISSIONS/Indonesia/press/pr020603sipadan.htm. Permanent Mission of the Republic of Indonesia to yhe United Nations and Other International Organization in Geneva. Press Release : Proses Oral Hearings Sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan di Mahkamah lnternasional, 3-12 Juni 2002.
**The writer is Student of Finance and Banking Administration, Univ. of Indonesia
wiyasti dwiandini*
12 May 2009
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang.
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan Negara yang memiliki banyak pulau. Oleh karenanya Negara Indonesia disebut Negara Kepulauan, Negara Kepulauan adalah negara yang seluruhnya terdiri dari satu atau lebih Kepulauan dan dapat mencakup pulau–pulau yang lain. Kepulauan adalah suatu gugusan pulau, termasuk bagian pulau, perairan di antaranya. Karena banyaknya pulau-pulau yang di tempati oleh masyarakat yang berbeda latar belakang mengakibatkan timbulnya berbagai macam pula suku, ras, dan budaya. Hal ini menjadikan bangsa Indonesia harus berusaha menyatukan keberagaman tersebut, oleh sebab itulah muncul semboyan bangsa “Bineka Tunggal Ika” berbeda-beda tapi tetap satu tujuan.
Sebagai negara yang sedang mengalami perkembangan, Negara Indonesia juga memiliki beberapa kekuatan dan kelemahan. Kekuatannya terletak pada posisi dan keadaan geografi yang strategis dan kaya akan sumber daya alam (SDA). Sementara kelemahannya terletak pada wujud Kepulauan dan keanekaragaman masyarakat yang harus disatukan dalam satu bangsa, satu negara dan satu tanah air.
Segala bentuk permasalahan kerap kali dihadapi bangsa kita, tidak hanya permasalahan yang timbul dari dalam negara Indonesia saja, tetapi juga sebagai bagian dari kesatuan negara seluruh dunia, tentunya Negara Indonesia juga mempunyai tetangga yang memungkinkan timbulnya permasalahan dengan negara tetangga itu, seperti halnya dalam kehidupan masyarakat bertetangga pasti ada saja asam-manisnya hidup bertetangga. Namun sebagai bangsa yang bijak para pemimpin bangsa dituntut untuk menyelesaikan segala permasalahan yang timbul baik di dalam maupun di luar menggunakan cara penyelesaian yang terbaik bagi bangsa kita dan tidak saling merugikan.
Masalah yang timbul di antara Indonesia dengan Negara tetangga tersebut salah satunya adalah masalah sengketa mengenai kedaulatan wilayah, terutama wilayah di daerah perbatasan, baik batas udara,, darat maupun batas laut. mengingat bahwa Indonesia merupakan Negara kepulauan, maka kasus sengketa yang sering dihadapi Indonesia dengan Negara tetangga adalah kasus sengketa kepulauan.
Sengketa menyangkut kedaulatan wilayah merupakan masalah yang menjadi perhatian setiap negara dan tidak dapat diselesaikan dengan mudah. Mengingat pentingnya wilayah sebagai suatu element esensial dari negara dalam hukum Internasioanal, dimana dalam wilayahnya, suatu negara mempunyai kedaulatan penuh. Menurut Mochtar Kusumaatmadja sengketa mengenai wilayah dibedakan menjadi dua :
1. Dalam bentuk klaim terhadap seluruh wilayah dari suatu negara, contoh Arab dengan Israel.
2. Dalam bentuk klaim terhadap suatu bagian dari wilayah negara yang berbatasan, contoh Indonesia dengan Malaysia mengenai Pulau sipadan dan Pulau Ligitan .
Sengketa kedaulatan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan antara Indonesia denagn Malaysia merupakan salah satu kasus yang dihadapi oleh Indonesia dengan Negara tetangga, kasus ini sangat sulit dicapai penyelesaiannya, karena kasus ini mempunyai akar sejarah yang kompleks tetapi pada akhirnya sengketa ini berhasil diselesaikan secara damai oleh pihak yang bersangkutan yaitu Indonesia dengan Malaysia sehingga kasus ini menarik untuk dibahas.
Pulau Sipadan dan Ligitan sebenarnya tak lebih dari pulau kecil yang luasnya saja 10,4 hektar untuk Sipadan dan 7,9 hektar untuk Ligitan.. Saking kecilnya, dalam pelajaran ilmu bumi disekolah, kedua pulauini hanya bertanda titik dalam peta. Jika dihitung dari jara, Pulau Sipadan terletak 15 mil laut dari daratan Sabah (Malaysia) dan 40 mil laut dari timur Pualau Sebatik milik Indonesia dan Malaysia. Sedangkan Ligitan 21 mil dari laut Sabah dan 57,6 mil dari timur Pulau Sebatik. Tak ada penduduk,hanay ada karang dan pasir putih. Namun, keberadaannya telah menyita energi Indonesia dan Malaysia untuk mendapatkannya. Pulau Ligitan hanya terdiri dari semak belukar dan pohon. Sementara itu, Sipadan merupakan pucuk gunung merapi di bawah permukaan laut dengan ketinggian sekitar 700 meter. Sampai 1980-an, dua pulau ini tak berpenghuni alias kosong melompong .
Namun, bagi Indonesia dan Malaysia, dua pulau ini punya arti penting, yakni batas tegas antar dua negara. Sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan sebenarnya sudah terjadi sejak masa kolonial antara pemerintah Hindia Belanda dan Inggris. Pulau Sipadan pernah dimasukkan dalam Turtle Preservation Ordinance oleh pemerintah Inggris pada 1917. Keputusan ini ditentang pemerintah Hindia Belanda yang merasa memiliki pulau tersebut.
Sengketa kepemilikan pulau itu tak kunjung reda, meski gejolak bisa teredam. Sengketa Sipadan dan Ligitan kembali muncul ke permukaan pada tahun 1969, ketika Tim Teknis Landas Kontinen Indonesia – Malaysia membicarakan batas dasar laut antar kedua negara. Kedua pulau Sipadan dan Ligitan tertera di Peta Malaysia sebagai bagian dari wilayah negara RI, padahal kedua pulau tersebut tidak tertera pada peta yang menjadi lampiran Perpu No. 4/1960 yang menjadi pedoman kerja Tim Teknis Indonesia. Dengan temuan tersebut Indonesia merasa berkepentingan untuk mengukuhkan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan. Maka dicarilah dasar hukum dan fakta historis serta bukti lain yang dapat mendukung kepemilikan dua pulau tersebut.
Sejak saat itu berbagai upaya penyelesaian secara diplomatis telah dilakukan untuk menyelesaiakan sengketa itu tetapi penyelesaian secara diplomasi itu tidak menghasilkan penyelesaia yang memuaskan kedua Negara tersebut. Hingga pada akhirnya pada tahun 1998 melalui "Special Agreement for Submission to the Internasional Court of Justice on the Dispute Between Indonesia and Malaysia Concerning Sovereignty Over Piulau Sipadan Pulau Ligitan“, Indonesia dan Malaysia sepakat untuk menyelesaikan sengkata ini melalui Jalur Hukum Internasioanal yaitu dengan menyerahkan kasusu ini kepada mahkamah Internasional. Kemudian pada 2 November 1998 kasus sengketa ini diajukan untuk diperiksa oleh Mahkamah Internasional. dengan penyerahan kasus sengketa Sipadan dan Ligitan tersebut, proses litigasi antara kedua pulau mulai berlangsung.
Jalan panjang membereskan sengketa ini baru berakhir di era Presiden Megawati. Dalam putusan Mahkamah Internasional yang jatuh pada 17 Desember 2002, Indonesia dinyatakan kalah. Untuk menghadapi sengketa ini Indonesia sampai menyewa lima penasihat hukum asing dan tiga peneliti asing untuk membuktikan kepemilikannya. Sayang, segala upaya itu mentah di depan 17 hakim Mahkamah Internasional. Sejak putusan Mahkamah Internasional itu turun, Pulau Sipadan dan Ligitan akhirnya berpindah pangkuan ke Malaysia.
Malaysia resmi dalam kepemilikan Pualua Sipadan dan Ligitan atas keputusan Mahkamah Internasional tentu saja hal ini akan menimbulkan “deep impact” terhadap hubungan kedua negara maupun dapat menjadi performa diplomasi RI. Kini Sipadan dan Ligitan telah terlepas dari gugusan Negara kesatuan republik Indonesia (NKRI).
BAB II
PERMASALAHAN
Posisi geografi Indonesia yang berada diantaradua benua dan dua samudra serta berbatasan dengan 10 negara, merupakan negara kepulauan yang besar dengan letak pulau-pulaunya yang menyebar ,berjumlah 17.504 pulau bernama dan tidak bernama dengan peyebaran penduduk yang tidak merata dan kepadatan penduduk yang tidak merata terpusat di Pulau Jawa.
Indonesia juga terdiri dari beraagam suku bangsa dengan bahasa dan adat istiadat yang berbeda yang menjadikan bangsa Indonesia begitu beranekaragam . Kesemua ini merupakan keuntungan bagi bangsa Indonesia tetapi terkadang menimbulkan kerawanan bagi Indonesia khususnya jika dikaji hubungan geostrategi Indonesia dengan wawasan nusantara.
Menghubungkan antara masalah apa saja yang mungkin terjadi dengan kemajemukan bangsa Indonesia, wilayah Indonesia yang berupa kepulauan yang 2/3 luas wilayahnya adalah lautan dan beberapa diantaranya masih belum jelas batasnya dengan wilayah negara tetangga serta bagaimana dengan wilayah Indonesia yang berada di perbatasan atau daerah frontier dan pulau-pulau yang masih tak berpenghuni, apakah akan terjadi masalah persengketaan kedaulatan pulau-pulau tersebut jika Indonesia tidak tegas dalam menentukan batas-batas wilayahnya?.
Dan ternyata seiring berjalannya waktu, Indonesia benar-benar terjebak dengan masalah kedaulatan atas batas wilayah pulau-pulau yang berada disekitar wilayah kesatuan negaranya. Salah satunya yaitu masalah sengketa Kedaulatan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan yang berada di antara Indonesia dengan Malaysia dan belum jelas status kepemilikannya karena tidak adanya kejelasan mengenai batas teritorial kedua pulau tersebut,apakah milik Indonesia atau milik malaysia. Dari sini dapat dilihat langkah apa saja yang seharusnya Indonesia lakukan bukan hanya menunggu sampai semuanya menghilang satu persatu dan dengan masalah yang sama, kapan Indonesia akan sadar akan sumberdaya alamnya yang seharusnya telah didepositkan segera ke PBB untuk mendapatkan pengakuan yurisdiksi dari Internasional tentang batas-batas wilayah Indonesia sehingga tidak diserobot oleh negara lain walaupun negara tetangga yang masih satu rumpun dengan Indonesia.
Ada bebrapa hal yang perlu dibahas menyangkut terjadinya kasusu Sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan antara Indonesia dan Malaysia, yaitu :
1. apa yang menyebabkan terjadinya sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan antara Indonesia dengan Malaysia?
2. Bagaimana Asal muasal terjadinya konvensi tahun 1891 antara Inggris dengan Belanda?
3. Bagaimana hasil dari keputusan Konvensi London tahun 1891 mengenai batas wilayah?
4. Bagaimana cara menyelesaikan sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan tersebut?
5. Bagaimana proses diplomasi yang dilakukan Indonesia-Malaysia dalam penyelesaian kasus Sipadan-Ligitan?
6. Bagaimana proses penyelesaian tersebut oleh Mahkamah Internasioanal?
7. Bagaimanakah putusan mahkamah internasional dalam sengketa kedaulatan atas Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan?
BAB III
TEORI PEMBAHASAN MASALAH
Perjuangan bangsa Indonesia dalam mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa yang utuh di seluruh wilayah nusantara di Indonesia ini, pertama kali dimunculkan dengan adanya “Deklarasi Djuanda” pada tanggal 13 Desember 1957 yang mendasari perjuangan bangsa Indonesia untuk menjadi rejim negara kepulauan (Archipelagic State) sebagai dasar dari konsepsi kewilayahan dalam rangka mewujudkan Wawasan Nusantara. Deklarasi Djuanda merupakan pernnyataan yang dikeluarkan pemerintah Indonesia mengenai wilayah perarairan Indonesia yang isinya antara lain menyatakan bahwa semua perairan di sekitar, di antara dan yang menghubungkan pulau-pulau yang masuk daratan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah bagian-bagian yang tak terpisahkan dari wilayah yurisdiksi negara kita yang tercinta, yaitu Negara Republik Indonesia.
Konsep Indonesia sebagai negara kepulauan (Archipelagic State) diakui dunia setelah United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) yang disahkan pada tanggal 10 Desember 1982 dan Indonesia juga telah meratifikasinya dengan Undang-Undang No.17 tahun 1985. Pengakuan Indonesia sebagai negara kepulauan tersebut merupakan anugerah besar bagi bangsa Indonesia karena perairan yurisdiksi nasional Indonesia bertambah secara luar biasa, luas laut Indonesia meliputi 2/3 dari seluruh wilayah negara (luas perairan menjadi suatu kesatuan dengan daratan). Wilayah perairan yang demikian luas menjadi beban tanggung jawab besar dalam mengelola dan mengamankannya. Untuk mengamankan laut yang begitu luas diperlukan kekuatan dan kemampuan di bidang maritim yang besar, kuat juga modern. Untuk mengelola sumber daya yang terkandung di dalamnya seperti ikan, koral, mineral, biota laut, dan lain sebagainya diperlukan SDM, peralatan dan teknologi kelautan yang modern serta dana yang teramat besar, juga kesadaran dari warga Indonesia dalam partisipasinya. Untuk 2 hal tersebut (pengamanan dan pengelolaan), diperlukan batas laut yang pasti dan tegas sebagai “pagar” negara nusantara Indonesia dalam rangka melindungi, mengamankan dan menegakkan kedaulatan sebagai negara kepulauan terbesar di dunia.
Penegakan kedaulatan dan wilayah perairan bangsa dapat dilakukan dan dipertanggungjawabkan pasa suatu negara yang batas-batasnya sudah pasti (diakui oleh kedua negara yang berbatasa dan untuk laut lepas sesuai dengan UNCLOS 1982) dan telah dilaporkan atau didepositkan di PBB untuk mendapatkan pengakuan internasional. Semakin merebaknya gangguan dan ancaman di perairan di nusantara akhir-akhir ini, semakin dirasakan pentingnya penentuan (penegasan) batas-batas laut.
Layaknya kehidupan bermasyarakat yang hidup bertetangga tentunya banyak terjadi konflik sebagai asam manis variasi kehidupan, begtu juga hubungan antar negara sering terjadi saling berselisih pendapat sehingga dapat menyebabkan kontroversi. Semua masalah itu bukanlah untuk dihindar tetapi harus dihadapi secara bijak, baik oleh pemerintah maupun seluruh rakyatnya.
Seperti permasalahan yang berulang kali muncul di kancah Internasional, masalah perebutan wilayah/pulau kecil perbatasan antara Malaysia dan Indonesia diantara pulau tersebut salah satunya adalah sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan pada tahun 1969. Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan terletak di Laut Sulawesi ( Calabes Sea ), di lepas pantai Timur Laut Pulau Kalimantan (Sebelah timur provinsi Kalimantan Timur) dan sebelah Timur pulau Sebatik. Laut Sulawesi sendiri berbatasan dengan :
- Sebelah Utara : kepulauan Sulu, Laut Sulu, dan Pulau Mindanao
- Sebelah Timur : berbatasan dengan Kepulauan sangihe
- Sebelah Selatan : berbatasan dengan Pulau Sulawesi
- Sebelah Barat : berbatasan dengan Pulau kalimantan.
Posisi ini menyebabkan Kedua Pulau tersebut berada di perbatasan antara Indonesia dengan Malaysia.
Sebagaimana telah diketahui, salah satu unsur esensial dari negara ialah penguasaan suatu daerah teritorial, dimana hukum negara itu beroperasi. Aats wilayah ini, wewenang tertinggi diberikan negara itu. dengan demikian timbullah konsep "kedaulatan teritorial" yang berarti bahwa di daerah toritorial ini yuridikasi dijalankan oleh negara itu atas orang-orang dan harta benda. Kekuatan teritorial dilukiskan oleh Max Huber,arbitrator dalam Island of palmas abritation, dengan istilah-istilah berikut :
"kedaulatan dalam hubungan antara negara-negara menandakan kemerdekaan. Kemerdekaan berkenaan dengan suatu bagian dari muka bumi ini adalah hak untuk melaksanakan di dalamnya, tanpa campur tangan negara lain”
ada tujuh cara yang diakui secara umum dan secara tradisional untuk mendapatkan kedaulatan teritorial ialah :
a, pendudukan (okupasi)
b. penaklukan (anekasi)
c. Akresi (accresion : mperubahan karena faktor alam)
d. Preskripsi :(prescription pengalihan hak atau kadaluarsa)
e. Sesi (cession penyerahan)
f. intergrasi atau sebaliknya disintegrasi
g. Revolusi (independen)
Sengketa Kedaulatan atas Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan ini pertama kali mulai terjadi sejak tahun 1969, ketika diadakan perundingan batas landas kontinen antara Indonesia dengan Malaysia di Kuala Lumpur (9-22 September 1969). Pertemuan itu bertujuan menentukan batas landas kontinen antara kedua negara tersebut di :
• Selat Malaka
• Bagian Barat Laut Cina Selatan (lepas pantai dari pantai timur Malaysia)
• Bagian Timur Laut Cina Selatan (Sepanjang pantai Timur Kalimantan dan Negara bagian Serawak, Malaysia)
• Laut Sulawesi, sepanjan bagian timur Kalimantan dan Sabah.
Pada saat membahas batas landas kontinen tersebut di Pulau Sulawesi, Indonesia dan Malaysia sama-sama mengklaim bahwa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan merupakan bagian dari wilayah negaranya masing-masing. Karena sama-sama menyatakan diri sebagai pihak yang berhak mengelola Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan tersebut, kedua belah pihak kemudian sepakat untuk menahan diri dan tidak melakukan kegiatan apapun di kedua pulau tersebut sampai proses penyelesaian sengketa kedua Pulau selesai .
Permasalahan ini sebenarnya berawal dari perbedaan penafsiran pada saat Konvensi London atas sejarah perjanjian politik tahun 1891 yang dibuat oleh dua kolonialis Ingris-Belanda untuk membagi Kalimantan. Dalam sejarah perjanjian ini yang telah tertulis dalam dokumentasi sejarah di Belanda, Perjanjian Inggris-Belanda tahun 1891 berisi tentang pembagian wilayah Kalimantan dan ditegaskan bahwa “Bagian utara adalah milik Inggris dan bagian selatan adalah milik Belanda, Persisnya pada titik timur Kalimantan ditarik garis membelah pulau Sebatik menjadi dua bagian, setengah milik jajahan Inggris dan setengahnya lagi milik jajahan Belanda”.
Asal muasal terjadinya konvensi 1891 ini dimuali pada abad ke XVI ketika Spanyol menguasai Philipina dan berusaha untuk memperluas kekuasaannya ke pulau-pulau yang terletak disebelah selatan Philipina, pada akhir abad XVI Spanyol berhasil menguasai wilayah yang sebelumnya dikuasai kesultanan Sulu, dimana dalam perjanjian tersebut Spanyol menjamin untuk memberikan perlindungan kepada Sultan Sulu di semua pulau yang terletak pada wilayah yuridiksi Spanyol dan pulau-pulau yang terletak diantara sebelah barat Pulau Mindanao hingga Pulau Kalimantan (Borneo) dan pulau Paragua (Palawan), kecuali di wilayah yang dikuasai oleh Sultan yang berkuasa di pulau Kalimantan. Kemudian pada tanggal 19 April 1851, Spanyol dan Sultan Sulu mengadakan Act or re-submission dimana Sulu dan wilayah-wilayah yang berada di bawah kekuasaan Sultan Sulu menjadi wilayah Spanyol.
Sementara itu pada abad XVII Belanda menguasai Kalimantan. The Netherlands east India Company yang memiliki kepentingan ekonomi yang sangat besar bagi wilayah Asia Tenggara diberikan kekuasaan oleh Netherlands United Provinces untuk mengadakan perjanjian dengan raja-raja di Asia Tenggara termasuk Pulau Kalimantan atas nama States general of The Netherlands.
Pada abad XVII dan abad XVII Netherlands east India Company menguasai Pulau Kalimantan sehingga kekuasaan Sultan Banjermasin semakin meluas hingga bagian timur dan selatan Pulau Kalimantan diantaranya meliputi kerajaan Boreu. Sementara Sultan Sulu Menguasai bagian utara Pulau Kalimantan. Kemudian pada akhir abad XVII , Netherlands east India Companya pailit sehingga seluruh wilayah yang dikuasainya kemudian dikuasai oleh Netherlands United Provinces.
Ketika terjadinya perang Napoleon Inggris menguasai seluruh wilayah Asia yang telah dikuasai oleh Belanda dan berdasarkan konvensi London tanggal 13 agustus 1814, Kerajaan Belanda memegang kekuasaan atas sebagian besar wilayah yang dulunya dikuasai oleh Belanda.
Kemudian pada tanggal 3 Januari 1817 diadakan perjanjian antara Belanda dengan sultan Banjermasin yang berisi penyerahan wilayah-wilayah yang dikuasainya ketangan Belanda termasuk wilayah yang membentuk kerajaan Berou meliputi Sambaliung, Gunung Tabur, dan Bulungan kemudian masing-masing penguasanya diberi gelar Sultan.
Pada 12 November 1850 pemerintah Belanda mengadakan perjanjian dengan para Sultan yang menguasai masing-masing wilayah di kerajaan Berou yang berupa contrac of vassalage. Pada perjanjian tersebut kekuasaan Sultan Bulungan meliputi Pulau Tarakan Nanukan, Sebatik dan pulau-pulau kecil disekitarnya. Kehadiran Belanda di Bulungan juga dinyatakan dengan aktif secara fisik,yaitu melalui dikibarkannya bendera Belanda yang dibagikan kepada para penguasa local serta melakukan kegiatan kapal perang HNMLS Abiral Van Kinsbergen disekitar Pualu sipadan pada tahun 1875-1877. Hal ini kemudiandi nyatakan kembali dalam kontrak tanggal 2 juni 1878, di mana kontrak ini kemudian di setujui dan di ratifikasi oleh pemerintah Belnada pada 18 oktober 1878 dan di beritahukan kepada pemerintah inggris.
Sementara itu walaupun Inggris mempunyai kekuasaan yang besar di Pulau Kalimantan tetapi pemerintahan Inggris tidak pernah mengambil tindakan apapun menyangkut kepentingannya tersebut hingga abad XIX. Dan setelah Anglo Dutch Confention pada 13 agustus 1814, berbagai klaim ekonomi maupun territorial pemerintahan Inggris dan pemerintahan Belanda di pulau Kalimantan mualai saling tumpang tindih. Pada 20 juni 1891 dibuatlah konfensi anatar pemerintah Inggris dengan pemerintah Belanda untuk menyelesaikan batas wilayah kekuasaan Belanda dan Inggris yang diakibatkan oleh ketidak jelasan batas wilyah kekuasaan antara Kesultanan Sulu dengan kesultanan bulungan di Pulau Kalimantan (Borneo) dimana Pulau Sipadan dan Ligitan Berada di wilayah yang diperebutkan.
Ketidak jelasan batas wilayah tersebut terjadi karena tidak diketahuinya secara pasti sampai sejauh mana kekuasaan kedua Sultan itu atas daerah-daerah lepas pantai yang dikuasainya. Tidak jelasnya batas daerah wilayah kekuasaan Kesultanan Bulungan dan Kesultanan Sulu itu ternyata seterusnya sampai ke pihak penjajah Inggris dan pihak penjajah Belanda, dimana Inggris menjajah Kesultanan Sulu sedangkan Belanda menjajah Kesultanan Bulungan.
Akan tetapi meskipun Sultan Bulungan dan Sultan Sulu telah menyerahkan wilayah kekuasannya kepada Belanda dan Inggris tetap saja batas pasti atas wilayah-wilayah tersebut tidak pernah digambarkan secara menyeluruh dalam setiap perjanjian dan penyerahan yang disepakati. Sehingga Inggris dan Belanda tidak mengetahui secara pasti batas antara wilayah territorial satu sama lain di Pantai Timur Kalimantan yang mereka kuasai.
Hingga akhirnya pada tahun 1880, ketidak pastian batas wilayah menimbulkan perselisihan antara Belanda dan Inggris. Perselisihan yang terjadi berupa perbedaan presepsi mengenai batas wilayah kekuasaan masing-masing. Belanda mengannggap bahwa wilayah kekuasaanya membentang ke Utara sampai batas 4º20’LU, sedangkan Inggris menanganggap bahwa batas wilayah kekuasaan Belanda hanya sampai 3º20’LU sebagaimana yang telah digambarkan dalam resolusi Belanda tanggal 28 Februari 1846.
Kemudian pada tahun 1891 atau Treaty Based Title dilakukan Konvensi antara Belanda dengan Inggris mengenai batas wilayah tersebut yang bertujuan untuk menentukan “ The boundaries between the Netherlands Possesions in the Island of Borneo an the states in that Island which are under british protection”. Adapun kesepakatan mengenai batas wilayah yang termuat dalam konvensi 1891 ini adalah :
1. Pasal I menetapkan bahwa batas anatara wilayah kekuasaan Belanda dan Inggris dimulai dari titik 4°10’. Lintangg Utara (titik 4°10’ LU tersebut sebagai starting point):
“The boundary between the Netherland possessions in Borneo and those of the British-protected States in the same Island,, shall start from 4°10’ north latitude on the east coast of Borneo.”
2. Pasal II dan III menentukan batas ke Arah barat melintasi pulau Kalimantan.
3. Passal IV menentukan batas kea rah timur dari titik yang telah ditentukan arlam pasal I
4. Pasal IV menentukan batas ke Arah timur dari titik yang telah ditentukan dari pasl I
From 4°10’ north latitutde on the east coast the Boundary-line shall be continued eastward along that parallel,across the Island of Sebatik : that portion of the Island situated to the north of that parallel shall belong unreservedly to the Brithish North Borneo Company, and the portion south to that parallel to the Netherlands.
Konvensi ini pada akhirnya dapat menyelesaikan masalah batas wilayah antara Belanda dengan Inggris yang kemudian wilayah tersebut menjadi wilayah Indonesia dan Malaysia sekarang. Tetapi, pada tahun 1969 permasalahan akan batas wilayah ini muncul kembali kepermukaan saat diadakannya perundingan batas landas kontinen antara Indonesia dengan Malaysia di Kuala Lumpur. Perundingan tahun 1969 ini merupakan titik penting dipandang dari segi hukum karena merupakan awal munculnya sengketa (critical date).
Perseteruan antara kedua negara rupanya tidak mudah menemukan titik terang yang menjadi solusi. Oleh karenanya, kedua negara berunding membuat suatu perjanjian pada tahun 1969 yang menghasilkan “perjanjian untuk tidak melakukan aktivitas di pulau Sipadan dan Ligitan karena pulau tersebut masih dalam sengketa dan belum jelas kepemilikannya”. Karena kedua pulau masih dalam sengketa akhirnya dalam peta kedua negara tersebut tidak mencantumkan pulau tersebut. Lemahnya diplomasi Indonesia dengan dalih “Semangat ASEAN” dalam berbagai perundingan mengalami jalan buntu,dan kemudian Pulau sipadan dan Pulau Ligitan berada dalam keadaan Status Qou
Akan tetapi, pada tahun 1970 dalam kondisi status qou ini, Malaysia melakuakan tindakan sepihak dengan menerbitkan peta yang memasukan Pulau Sipadan dan pulau Ligitan ke dalam wilayah Nasionalnya . Malaysia kemudian mengadakan aktivitas pembangunan resort dan mengelola Kedua Pulau tersebut menjadi daerah wisata dengan paket wisata Kinabalu juga penangkaran penyu bahkan Malaysia membuat “pulau buatan” di karang Rough di 4º10’ Lintang Utara. sementara itu, Indonesia tetap konsisten dengan keadaan Status Quo. Indonesia sama sekali tidak beraksi melihat tindakkan Malaysia itu. Para diplomat Indonesia beralih bahwa kepatuhan memelihara Status Quo mencerminkan itikad baik dalam mencari solusi atas Pacta Sunt Servanda (Hasil pembicaraan dalam perundingan).
Satu hal yang perlu dicatat, Pemerintah Pretektorat Inggris sejak zaman penjajahan menempatkan pos pengawas, polisi hutan, untuk memelihara kelestarian lingkungan. Sedsngkan pemerintah Hindia Belanda tidak ada perhatian dan tidak berbuat sesuatu demi kelestarian kedua Pulau tersebut.
Sejak saat itu pemerintah Indonesia dan Pemerintah Malaysia mencoba untuk menyelesaikan sengketa ini secara damai sesuai ketentuan dalam pasal 33 ayat (1) Piagam PBB. Penyelesaian sengketa internasional secara damai bertujuan untuk mencegah dan mengindarkan kekerasan atau peperangan dalam suatu persengketaan antar negara. Menurut pasal 33 ayat (1) Piagam PBB penyelesaian sengketa dapat ditempuh melalui cara-cara sebagai berikut:
Ada tiga kategori penyelesaian sengketa secra damai.
1. Menggunakan saluran diplomatic, penyelesaian sengketa dilakukan secara bilateral maupun dengan bantuan pihak ketiga yang terdiri dari :
• Negosiasi (perundingan) Perundingan merupakan pertukaran pandangan dan usul-usul antara dua pihak untuk menyelesaikan suatu persengketaan, jadi tidak melibatkan pihak ketiga.
• Enquiry (penyelidikan)Penyelidikan dilakukan oleh pihak ketiga yang tidak memihak dimaksud untuk mencari fakta.
• Good offices (jasa-jasa baik) Pihak ketiga dapat menawarkan jasa-jasa baik jika pihak yang bersengketa tidak dapat menyelesaikan secara langsung persengketaan yang terjadi diantara mereka.
• Mediation (mediasi) Pihak ketiga campur tangn untuk mengadakan rekonsiliasi tuntutan-tuntutan dari para pihak yang bersengketa. Dalam mediasi pihak ketiga lebih aktif.
• Consiliation (Konsiliasi) Merupakan kombinasi antara penyelesaian sengketa dengan cara enquiry dan mediasi.
• Arbitration (arbitrasi) Pihaknya adalah negara, individu, dan badan-badan hukum. Arbitrasi lebih flexible dibanding dengan penyelesain sengketa melalui pengadilan.Dalam hal penyelesaian melalui bantuan pihak ketiga, maka putusan atau solusi yang dihasilakn oleh pihak ketiga yang netral tersebut tidak mengikat para pihak yang bersengketa, melainkan hanya bersikap Rekomendasi.
2. Secara hukum, yang terdiri dari Arbitrasi dan Adjudikasi yang menghasilkan keputusan dari pihak ketiga yang mengikat secara umum.
• Penyelesain sengketa menurut hukum Dalam penyelesaian ini para pihak yang bersengketa akan mengajukan masalahnya ke Mahkamah Internasional. Mahkamah internasional ini bertugas untuk menyelesaikan tuntutan yang diajukan dan mengeluarkan keputusan yang bersifat final dan mengikat para pihak. Mahkamah Internasional merupakan bagian integral dari PBB, jadi tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya .
3. Melalui prosedur penyelesaian sengketa antara Negara-negara anggota Organisasi Internasional
• Badan-badan regional Melibatkan lembaga atau organisasi regional baik sebelum maupun sesudah PBB berdiri.
Jalan pertama yang ditempuh oleh Indonesia dan Malaysia dalam menyelesaikan masalah sengketa ini adalah melalui jalur diplomatis, yang diharapkan dapat menyelesaikan permasalahan di antara kedua negara tersebut.
Penyelesaian secara diplimatis itu dimulai dari pertemuan Mentri Luar Negeri Indonesia dan Malaysia pada tahun 1980, mereka menyatakan bahwa kedudukan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan masih dalam Status Que.
Kemudian pada tahun 1989, Ketika Perdana Mentri Malaysia Mahathir Mohammad dan Presiden RI Soeharto bertemu di Yogyakarta, kedua pemimpin Negara tersebut membuka kembali pembicaraan mengenai Status Pulau sipadan dan Pulau Ligitan. Sejak saat itu, kedua Negara sepakat untuk menyelesaikan sengketa secara bilateral.
Sayangnya berbagai pertemuan yang telah dilaksanakan tidak membuahkan hasil. Setelah melalui empat kali pertemuan di kedua Negara, dua wakil Negara Mensesneg Moerdiono dan wakil Perdana Mentri Anwar Ibrahim memunculkan rekomendasi membawa masalah ini ke Mahkamah Internasional yang berkedudukan di Den Haag,Belanda. Pada pertemuan di Kuala Lumpur pada tanggal 6-7 Oktober 1996 pemimpin kedua Negara tersebut menyepakatai rekomendasi untuk menyelasaikan masalah tersebut melalui jalur hukum ke Mahkamah Internasional dan mereka harus berjanji untuk menerima apapun hasil pengadilan sebagai keputusan final.
Karena itu keputusan sepenuhnya berada di tangan Mahkamah Internasioanl. Indonesia dan Malaysia hanya berkewajiban menyampakan posisinya melalui written pleadings kepada Mahkamah Internasional pada tanggal 2 November 1999 dan reply pada tanggal 2 Maret 2001. Selanjutnya Proses oral hearings dari pihak Indonesia dan Malaysia dilaksanakan pada tanggal 3-12 Juni 2002.
Setelah proses ini berakhir, berarti berakhir pula keterlibatan idonesia dan Malaysia dalam proses persidangan Mahkamah Internasional. Keputusan sepenuhnya ditentukan oleh Majelis Hakim yang berjumlah 18 orang dan dipimpin oleh Hakim Gilbert Guillaume asal Perancis. Dalam pengamilan keputusan ini Indonesia dan Malaysia tidak dapat menempatkan wakil dari negaranya sendir. Mereka harus menunjuk hakim dari Negara lain yang memerankan diri sebagai diplomat dari kedua Negara. Hakim ad hoc yang ditunjuk Indonesia adalah hakim Thomas Frank dari Amerika Serikat dan Hakim ad hoc yang ditunjuk Malaysia adalah Hakim weeramantry dari Sri Langka.
Pada tahap pengambilan keputusan masalah persengketaan ini, Mahkamah Internasional menerapkan proses persidangan yang dapat dikatakan merujuk pada praktek diplomasi tradisional. Sejak Proses oral hearings sampai diputuskannya perkara , kedua pihak yang bersengketa maupun public internasional sama sekali tidak mengetahui jalannya persidangan karena Mahkamah Internasional merahasiakan jalannya persidangan. Kerahasiaan itu dibuktikan dengan tidak diperbolehkannya pihak Indonesia dan Malaysia untuk bertemu dengan hakim diluar persidangan, sekalipun pertemuan itu dengan hakim ad hoc yang telah ditunjuk oleh kedua Negara yang besengketa.
Selain itu persidangan kali ini berbeda pada persidangan pada umumnya, jalannya proses persidangan di Mahkamah Internasional tidak dapat diliputi oleh pers. Majelis Hakimpun tidak pernah mengumumkan hasil-hasil yang telah dicapai selama persidangan berjalan kecuali hasil akhir keputusan yang tetap dan mengikat. Jadi Majelis Hakim benar-benar melaksanakan persidangan secara rahasia, tertutup, diam-diam. Artinya praktek diplomasi tradisional yang pernah mewarnai pentas diplomasi di masa sebelum Perang Dunia I masih tetap dilaksanakan di era keterbukaan skarang ini.
Dan Pada akhirnya tanggal 17 Desember 2002, Mahkamah Internasional memutuskan bahwa Malaysia lah yang memiliki hak kedaulatah penuh atas Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan. Keputusan ini mengandung arti bahwa Malaysia mengalahkan Indonesia dalam pentas diplomasi internasional, dan Indonesia harus menerima kekalahan itu tanpa syarat, sebab keputusan itu bersifat final dan mengikat.
BAB IV
ANALISIS
Kasus sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan ini bukan diawali di tahun 1969 akan tetapi sudah terjadi semenjak abad XVII pada masa penjajahan dan kemudian dapat diselesaikan pada konvensi tahun 1891 antara Inggris dan Belanda.
Semenjak berlangsungnya Konvensi tahun 1891 antara pemerintah Hindia-Belanda dan protektorat Inggris tersebut, Pasal I menyebutkan batas wilayah yang dikuasai Hindia-Belanda dan wilayah protektorat Inggris di Kalimantan Timur, didasarkan atas garis lintang 4°10 Utara. Pasal IV, selanjutnya perbatasan pulau-pulau yang terletak disebelah timur Kalimantan yang meliputi Pulau Sebatik berdasarkan garis lintang 4°10 utara.
Dalam pasal V, disebutkan garis batas yang tersebut dalam pasal I dan IV diatur oleh kedua belah pihak dan ditentukan kemudian. Sebagai tindak lanjut sebagai protocol London yang ditandatangani oleh kedua belah pihak pada tanggal 26 September 1915, ditetapkan perbatasan wilayah yang dikuasai Hindia Belanda berdasarkan pasal I dan IV konvensi London (1891) adalah garis batas yang ditarik pada lintan 4º10 Utara ke arah Timur. Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan berada di sebelah selatan lintang 4º10 Utara, berarti kedua pulau tersebut merupakan milik pemerintahan Hindia Belanda.
Akan tetapi ketentuan yang tercantum dalam pasal IV hasil konvensi tersebut ditafsirkan secara berbeda oleh Indonesia dan Malaysia. Indonesia menganggap bahwa batas pembagian dapat diperpanjang ke arah timur sehingga menempatkan pulau Sipadan dan Ligitan berada di posisi sebelah selatan. Sedangkan Malaysia menganggap pembagian wilayah berhenti hanya pada pulau Sebatik saja dan tidak tembus ke laut sehingga pulau Sipadan dan Ligitan bukan milik Indonesia.
Kemudian pada tahun 1969 diadakan perundingan mengenai batas landas kontinen antara Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan Malaysia di Kuala Lumpur pada tanggal 9-12 September 1969. Di dalam perundingan tersebut mereka sama-sama mengklaim Pualu Sipadan dan Pulau Ligitan merupakan bagian dari wilayahnya masing-masing. Di tahun 1969 inilah dapat dikatakan titik mengkristalnya sengketa kedaulatan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan antara Indonesia dengan Malaysia, namun bukan merupakan awal lahirnya sengketa.
Dalam perjanjian tersebut menghasilkan kesepakatan bahwa Indonesia dan Malaysia diminta agar menahan diri untuk tidak melakukan kegiatan-kegiatan yang menyangkut kedua pulau tersebut sampai penyelesaian masalah sengketa itu selesai. Akan tetapi pada tahun 1970 Malaysia melakukan tindakan sepihak dengan menerbitkan peta yang memasukkan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan kedalam wilayah nasionalnya, dan beberapa bulan kemudian melakukan pembangunan dan pengelolaan fasilitas-fasilitas wisata dikedua pulau tersebut. Tetapi jauh sebelimnya Malaysia sudah mempunyai perencanaan yang matang untuk membangun infrastruktur di kedua pulau tersebut sementara Indonesia seolah-olah mengabaikan pulau tersebut.
Dalam hal ini diperkirakan Malaysia mengklaim Pilau Sipadan dan Pulau Ligitan ini adalah untuk kepentingan nasionalnya, yaitu sumber daya alam minyak dan gas selain itu dari letak geografisnya Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan terletak di daerah yang strategis. Dari pihak Indonesianya sendiri bersih kukuh mempertahankannya karma memang secara BZEE Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan merupakan wilayah Indonesia. Di perairan ZEE ini, Indonesia mempunyai hak berdaulat atas kekayaan alam di situ dan kewenangan melindungi lingkungan, mengatur penelitian ilmiah maritime dan pemberian izin kepada pihak asing yang akan melakukan penelitian ilmiah dan atau mendirikan bangunan (intstalasi, pulau buatan,dll).BZEE juga belum memiliki keabsahan atau pengakuan yang pasti .
Sejak terjadinya perbedaan penafsiran itu, Pemerintahan Indonesia dan Pemerintahan Malaysia mencoba untuk menyelesaikan masalah persengketaan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan itu tidak dengan jalur kekerasaan melainkan menyelesaikan konflik tersebut secara damai, sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 33 ayat (1) Piagam PBB,yaitu secara Diplomatis atau Jalur Hukum melalui Mahkamah Internasional.
Ternyata langkah pertama yang di coba oleh kedua Negara tersebut adalah melalui jalur Diplomatis. Diawali dengan pertemuan antara Mentri Luar Negeri Indonesia dengan Mentri Luar Negeri Malaysia pada tahun 1980, dimana pada pertemuan ini dinyatakan bahwa kedudukan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan masih dalam Status Qou.
Kemudian pada tahun 1989 Presiden RI Soeharto dan Perdana Menteri Malaysia bertemua di Yogyakarta, kemudian mereka membuka kembali pembahasan tentang sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan. Pembahasaan itu menghasilkan kesimpulan bahwa mereka sepakat untuk menyelesaikan sengketa tersebut secara bilateral,akan tetapi setelah dicoba melalui jalur tersebut kedua pemimpin Negara itu menyatakan bahwa sengketa mengenai kedua pulau tersebut sulit untuk diselesaikan dalam kerangka perundingan bilateral. Pada tanggal 11 Juni 1989, diadakan pertemuan keenambelas komite perbatasan bersama (General border Committee/GMC) Indonesia dengan Malaysia, untuk tidak melakukan aktivitas di kedua pulau tersebut.
Setelah beberapa tahun kemudian perundingan sengketa tersebut dimulai kembali pada tahun 1991 melalui pembicaraan di tingkat pejabat tinggi dalam Komite Bersama Indonesia-Malaysia. Hasil pertemuan pejabat tinggi menyepakati perlunya dibentuk Komisi Bersama dan kelompok Kerja Bersama (Joint Commission Meeting/JCM & Joint Working Groups/JWG). Pada tanggal 22 Juni 1991 berlangsung pertemuan para Menteri Luar Negeri ASEAN di Kuala Lumpur dan akhirnya berhasil membentuk komisi bersam. Dari terbentuknya komisi bersama dan kelompok kerja bersama tersebut, diadakan beberapa kali pertemuan yang khusus membahas kasusu sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan ini.
Pertemuan pertama dilakukan pada tanggal 7 Oktober 1991 oleh Komisi bersama Indonesia-Malaysia (Joint Commission Meeting/JCM) di Kuala Lumpur. Dalam pertemuan ini berhasil membentuk sub-komisi untuk membantu Indonesia dan Malaysia mengatasi sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan.
Tanggal 28 Januari 1992 berlangsung pertemuan Komisi perbatasan Bersama (General border Committee/GMC) Indonesia-Malaysia ke duapuluh di Kuala Lumpur. Di dalam pertemuan ini Indonesia dan Malaysia menyepakati diadakannya suatu kebijakan non-agresi terhadap Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan. Kemudian pada tanggal 6 Juli 1992, diadakan pertemuan kelompok kerja gabungan (Joint Working group) tentang Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan di Jakarta, kedua Negara tersebut saling menyerahkan dokumen dan peta yang dimilikinya.
Pada tanggal 5 Februari 1993 di Jakarta berlangsung pertemuan Komisi bersama (Joint Commission Meeting/JCM) Indonesia-Malaysia. Dalam pertemuan ini Indonesia dan Malaysia sepakat untuk menangguhkan masalah sengketa Sippadan dan Ligitan untuk dibicarakan dalam pertemuan lanjutan kelompok kerja bersama(Joint Working Group/JWG) . Tanggal 17 Juli 1993 Presiden RI Soeharto dengan Perdana Menteri Malaysia Mahatir Mohammad mengadakan pertemuan atas undangan Perdana Menteri Mahatir, mereka sepakat untuk menyelesaikan sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan.
26 januari 1994 Kelompok kerja bersama(Joint Working Group/JWG) melakukan pertemuan lagi di Kula Lumpur. Hasil dari pertemuan ini adalah mereka sepakat bahwa cara penyelesaian sengketa Pualu Sipadan dan Ligitan ini dilakukan berdasarkan prinsip2 hukum Internasional. Menurut JG Strike Hukum Internasional dapat dirumuskan sebagai sekumpulah hukum (body of Law) yang sebagian besar terdiri dari asas-asas dan karena itu biasanya ditaati dalam hubungan antara negara-negara satu sama lain yang juga meliputi :
• Peraturan - peraturan hukum mengenai pelaksanaan fungsi lembaga-lembaga dan organisasi-organisasi itu masing-masing serta hubungannya dengan negara-negara dan individu-individu.
• Peraturan-peraturan hukum tersebut mengenai individu-individu dan kesatuan-kesatuan bukan negara, sepanjang hak-hak atau kewajiban-kewajibanindividu dan kesatuan itu merupakan masalah Internasioanal.
Sedangkan Menurut Prof. Dr Muchtar Kusumaatmadja (pengantar Hukum Internasioal Hukum Internasional ialah keseluruhan Kaidah dan asas yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara antara :
• Negara dengan Negara
• Negara dengan subjek hukum lain bukan negara atau subjek hukum bukan negarasatu sama lain
Kemudian pada tanggal 7 September 1994 dilangsungkan pertemuan yang ketiga JWG untuk ketiga kalinya. Dalam pertemuan ini Malaysia mengajak Indonesia menyelesaikan sengketa ini ke Mahkamah Internasional (International Court of Justice/ICJ),tetapi Indonesia menyatakan bahwa ASEAN lebih sesuai untuk menyelesaikan sengketa ini karena selain merupakan anggota PBB Indonesia dan Malaysia juga merupakan Negara pendiri dan anggota ASEAN.
Alasan lain Indonesia memilih ASEAN sebagai penyelesai masalah sengketa ini adalah karena ketika tahun 1976, Traktat Persahabatan dan Kerja Sama di Asia Tenggara atau TAC (Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia) dalam KTT pertama ASEAN di pulau Bali ini antara lain menyebutkan bahwa akan membentuk Dewan Tinggi ASEAN untuk menyelesaikan perselisihan yang terjadi di antara sesama anggota ASEAN, akan tetapi pihak Malaysia menolak beralasan karena terlibat pula sengketa dengan Singapura untuk klaim Pulau Batu Puteh sengketa kepemilikan Sabah dengan Filipina serta sengketa Kepulauan Spratley di Laut Cina Selatan dengan Brunei Darissalam Filiphina, Vietnam, Cina dan Taiwan. Pihak Malaysia pada tahun 1991 lalu menempatkan sepasukan polisi hutan (setara Brimob) melakukan pengusiran semua warga negara Indonesia serta meminta pihak Indonesia untuk mencabut klaim atas kedua pulau tersebut ,
Pada tanggal 6 – 9 Juni 1995 diadakan pertemuan oleh Komisi bersama (Joint Commission Meeting/JCM), hasil dari pertemuan ini adalah mereka sepakat untuk segera menyelesaikan sengketa ini secara bilateral dengan jalur Konsultasi Informal yang bersifat Politis di tingkat menteri .
Namun dari serangkaian pertemuan JCM dan JWG yang dilaksanakan tidak membawa hasil, kedua pihak berpegang (comitted) pada prinsipnya masing-masing yang berbeda untuk mengatasi kebuntuan. Pemerintah RI menunjuk Mensesneg Moerdiono dan dari Malaysia ditunjuk Wakil Perdana Mentri Datok Anwar Ibrahim sebagai Wakil Khusus pemerintah untuk mencairkan kebuntuan forum JCM/JWG. Namun dari empat kali pertemuan di Jakarta dan di Kualalumpur tidak pernah mencapai hasil kesepakatan. Akhirnya kedua wakil tersebut memunculkan rekomendasi untuk menyelesaikan sengketa kedaulatan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan ini melalui Jalur Hukum yaitu dengan Menyerahkannya ke Mahkamah Internasional (International Court of Justice/ICJ).
Pada pertemuan tanggal 6-7 Oktober 1996 di Kualalumpur Presiden Soeharto dan Perdana Mentri Mahathir Muhammad sepakat untuk menyetujui rekomendasi dari Mensesneg Moerdiono dan Wakil Perdana Menteri Anear Ibrahim untuk menyelesaikannya melalui Mahkamah Internasional. selanjutnya tanggal 31 Mei 1997 disepakati “Spesial Agreement for the Submission to the International Court of Justice the Dispute between Indonesia and Malaysia concerning the Sovereignty over Pulau Sipadan and Pulau Ligitan”. Pada tanggal 2 November 1997 Special Agreement yang telah ditanda tangani itu kemudian secara resmi disampaikan ke Mahkamah Internasional, melalui suatu “joint letter” atau notifikasi bersama.
Masalah pokok yang diminta dari Mahkamah Internasional adalah apakah kedaulatan atas Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan berdasarkan perjanjian yang ada, bukti serta dokumen yang tersedia, merupakan milik Indonesia atau Malaysia. Selama ini Indonesia mendasarkan kepemilikannya atas Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan pada pasal IV konvensi 1891 antara Belanda dan Inggris (“Conventional Title”). Sedangkan Malaysia selama ini mendasarkan kepemilikannya atas kedua pulau tersebut pada suatu rangkaian transksi (“Chain of Title”) dengan dua alur, yaitu alur Sultan Sulu Spanyol-Amerika Serikat-Inggris-Malaysia dan alur Sultan Sulu-Den and Overback -BNBC-Malaysia. Selain itu, Malaysia juga mengajukan argument“effectivities”- untuk membuktikan siapa yang lebih dulu masuk ke kawasan itu. Malaysia berpendirian bahwa kedaulatannya atas kedua pulau tersebut diperoleh dari fakta bahwa tahun 1978 terbukti Inggris secara damai dan terus menerus mengadministrasi Pulau Sipadan dan Pulau ligitan.
Ada 77 peta yang harus dicetak pengadilan. Dan Indonesia mengatakan tidak ada argumentasi hokum yang meyakinkan tentang kepemilikan Sultan Sulu. Apalagi dalam peta perjanjian spanyol dengan Amerika, keduanya tidak dimasukkan. Pada bulan Juni 2000, ketika kedua Negara mempersentasikan 15 peta, terlihat bahwa dalam sepuluh peta yang dikeluarkan Malaysia, ketentuan garis Luntang Utara diakui. Sedangkan dalam tujuh peta lain yang dibuat antara tahun 1891 dan 1978 oleh Amerika Serikat dan Inggris, bagian Sabah minus Sipadan dan Ligitan. Tapi argument kartografi dari konvensi itu ditolak oleh Malaysia dengan alas an adanya kata disclaimer pada peta, yang berarti peta itu tidak otomatos menunjukkan status hokum wilayah. Dalam bahasan hokum itu berarti, meskipun Pulau Sipadan dan LIgitan masuke ke kawasan Belanda, belum tentu sah secara hukum. Alas an lain yang digelar tim pembela Malaysia, dari 22 peta Indonesia dan Belanda antara tahun 1891 dan 1992 tak satupun mencantumkan kedua pulau itu dalam peta Indonesia. Jadi keduanya dianggap milik kesultanan Sabah yang kelak bergabung dengan Malaysia.
Tetapi Profesor. Etty agus guru besar hukum laut dan hukum internasional dari universitas padjajaran sekaligus tim satuan tugas khusus Sipadan dan Ligitan punya pendapat lain. Menurut Dia, argument effectif dari Malaysia kurang kuat,karena Inggris hanya menetapkan pulau itu sebagai kawasan konservasi penyu pada awal abad ke-20. Tidak ada bukti mereka masuk dan mengelola kawasan pulau itu.
Sesuai dengan prosedur Mahkamah Internasional, untuk membuktikan klaimnya, Indonesia dan Malaysia harus menyampaikan “Written Pleadings” (argumentasi tertulis) dan ”Oral Hearings” (argumentasi lisan).
Dalam Argumentasi tertulis dibagi tiga tahapan yaitu prnysampaian dasar kepada Mahkamah Memorial pada tanggal 2 November 1999, atas Memorial yang disampaikan kedua Negara diberi kesempatan untuk menjawab dalam bentuk“Counter Memorial” pada tanggal 2 Agustus 2000. Counter Memorial yang disampaikan oleh masing-masing Negara kemudian dijawab kembali dalam bentuk “reply” pada 2 Maret 2001. akan tetapi Argumen tertulis ini dianggap rampung.
Selanjutnya kedua Negara tersebut harus menyampaikan ”Oral Hearings” (argumentasi lisan), yang merupakan proses tahap akhir penyelesaian sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan di Mahkamah Internasional yang berlangsung dari tanggal 3-12 Juni 2002. Dalam tahap ini Indonesia diwakili Mentri Luar Negeri Hassan wirajuda sedangkan Malaysia diketuai oleh Tan Sri Abdul Kadir Mohammad yang merupakan Duta Besar Kelililing (Ambassador al Large). Pada kesempatan itu, Mentri Luar Negeri Hassan wirajuda selaku pemegang kuasa hokum RI, menyampaikan argument lisannya “agent speech” , yang kemudian diikuti oleh persentasi argumentasi yuridis yang disampaikan Tim Pengacara RI hingga tanggal 4 juni 2002. Pada tanggal 6-7 Juni 2002 Malaysia akan menyampaikan argument lisannyaserta menyampaikan jawaban atas aegumentasi lisan Indonesia. Kemudian pada tanggal 10 Juni Indonesia akan mnyampaikan jawaban atas argument lisan Malaysia. Mahkamah Internasional kemudian menyatakan bahwa keputusan akhir atas sengketa tersebut akan ditetapkan pada bulan Desember tahun 2002 .
Argumen lisan Agent RI pada pokoknya berisi hal-hal sebagai berikut :
1. Pengajuan sengketa ini ke Mahkamah Internasional merupakan cerminan dari keinginan bersama Indonesia dan Malaysia, sebagai sesama anggota ASEAN, untuk menyelesaikan sengketa kepemilikan atas Pulau Sipadan dan Ligitan secara damai melalui proses hukum.
2. Kronologi singkat tentang asal mula timbulnya sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan: Kedua negara sebelum tahun 1969, telah menghormati garis 4° 10' LU sesuai Konvensi 1891 antara lnggris dan Belanda yang menuntaskan permasalahan batas antara kedua pihak di wilayah Kalimantan. Indonesia berpendirian bahwa Pulau Sipadan dan Ligitan yang terletak di sebelah selatan garis 4°10' LU berdasarkan Konvensi tersebut merupakan wilayah Indonesia.
3. Pengungkapan tindakan sepihak Malaysia setelah perundingan tahun 1969 yang tidak mencerminkan adanya "good faith", utamanya dengan cara menerbitkan peta yang memasukkan kedua pulau tersebut ke dalam wilayah nasionalnya serta pengelolaan dan pembangunan fasilitas wisata di kedua pulau itu. Sedangkan Indonesia senantiasa secara konsisten menghormati apa yang diinterpretasikan sebagai "status quo" sebagaimana disepakati dalam perundingan antara kedua negara pada tahun 1969. Indonesia telah melakukan protes-protes atas tindakan-tindakan unilateral Malaysia tersebut dan menahan diri untuk tidak melakukan hal yang sama demi menghormati semangat kerjasama dan meningkatkan budaya penyelesaian sengketa secara damai di kawasan. Oleh karena itu, Indonesia berpendapat bahwa semua kegiatan yang dilakukan Malaysia setelah tahun 1969 yang terus menerus diprotes Indonesia, tidak relevan untuk dijadikan dasar pertimbangan hukum dalam penetapan kedaulatan mengingat sengketa atas kedua pulau tersebut muncul pada tahun tersebut.
Dalam menghadapi dan menyiapkan materi tersebut diatas Pemerintah Repulik Indonesia membentuk Satuan Tugas Khusus (Satgassus) Penanganan Masalah Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan yang anggotnya terdiri dari berbagai instansi terkait yaitu : Departemen Luar Negri, Departemen Dalam Negeri, Departemen Pertahanan, Markas Besar Tentara Nasioanl Indonesia, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Dishidros TNI AL, Bupati Nunukan, pakar kelautan dan pakar hukum laut International.
Indonesia mengangkat “co agent” RI di Mahkamah Internasional/ICJ yaitu Dirjen Pol Deplu, dan Dubes RI untuk Belanda. Indonesia juga mengangkat Tim Penasehat Hukum Internationl (International Counsels) yang berkemampuan dan berpengalaman luas dalam berpekara di Mahkamah Internasional, yaitu :
Prof. Alain Pellet (Perancis), Guru Besar pada Universitas Paris X-Nanterre, anggota dan mantan ketua International Law Commission;
Prof. Alfred Soons (Belanda), Guru Besar Hukum Intemasional Publik, Universitas Utrecth;
Sir Arthur Watts, KCMG, QC (Inggris), anggota dan mantan Presiden Asosiasi Hukum Internasional (Cabang Inggris), Pengacara;
Rodman R. Bundy (Amerika Serikat), Pengacara, anggota Asosiasi Pengacara Roma, Frere Cholmeley/Eversheeds, Paris, sebagai Koordinator;
Ms. Loretta Malintoppi (Perancis), Pengacara, anggota Assosiasi Pengacara Roma, Frere Cholmeley/Eversheeds, Paris;
Para peneliti teknis masalah perbatasan dan pakar kartografi.
Setelah Mahkamah Internasional mendengarkan argumen dari Kedua Negara tersebut kemudian pada hari Selasa 17 Desember 2002 ICJ mengeluarkan keputusan tentang kasus sengketa kedaulatan Pulau Sipadan-Ligatan antara Indonesia dengan Malaysia. Hasilnya, dalam voting di lembaga itu, Malaysia dimenangkan oleh 16 hakim, sementara hanya 1 orang yang berpihak kepada Indonesia. Dari 17 hakim itu, 15 merupakan hakim tetap dari Mahkamah Internasional, sementara satu hakim merupakan pilihan Malaysia dan satu lagi dipilih oleh Indonesia. Kemenangan Malaysia, berdasarkan pertimbangan effectivity (tanpa memutuskan pada pertanyaan dari perairan teritorial dan batas-batas maritim), yaitu pemerintah Inggris (penjajah Malaysia) telah melakukan tindakan administratif secara nyata berupa penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu sejak tahun 1930, dan operasi mercu suar sejak 1960-an. Sementara itu, kegiatan pariwisata yang dilakukan Malaysia tidak menjadi pertimbangan, serta penolakan berdasarkan chain of title (rangkain kepemilikan dari Sultan Sulu) akan tetapi gagal dalam menentukan batas di perbatasan laut antara Malaysia dan Indonesia di selat Makassar .
Adapun keputusan Mahkamah Internasional dan Pokok Pertimbangannya, yaitu :
Menolak argumentasi Malaysia bahwa kedua pulau sengketa pernah menjadi bagian dari wilayah yang diperoleh Malaysia berdasarkan kontrak pengelolaan privat Sultan Sulu dengan SenOverbeck/ BNBC/ Inggris/ Malaysia. Mahkamah juga menolak argumentasi Malaysia bahwa kedua pulau termasuk dalam wilayah Sulu/Spanyol/AS/Inggris yang kemudian diserahkan kepada Malaysia berdasarkan terori rantai kepemilikan (Chain of Title Theory). Menurut Mahkamah tidak satupun dokumen hukum atau pembuktian yang diajukan Malaysia berdasarkan dalil penyerahan kedaulatan secara estafet ini memuat referensi yang secara tegas merujuk kedua pulau sengketa.
Menolak argumentasi Indonesia bahwa kedua pulau sengketa merupakan wilayah berada di bawah kekuasaan Belanda berdasarkan penafsiran atas pasal IV Konvensi 1891. penafsiran Indonesia terhadap garis batas 4° 10' LU yang memotong P. Sebatik sebagai allocation line dan berlanjut terus ke arah timur hingga menyentuh kedua pulau sengketa juga tidak dapat di terima Mahkamah. Kejelasan perihal status kepemilikan kedua pulau tersebut juga tidak terdapat dalam Memori van Toelichting. Peta Memori van Toelichting yang memberikan ilustrasi sebagaimana penafsiran Indonesia atas pasal IV tersebut dinilai tidak memiliki kekuatan hukum karena tidak menjadi bagian dari konvensi 1891. mahkamah juga menolak dalil alternatif Indonesia mengingat kedua pulau sengketa tidak disebutkan di dalam perjanjian kontrak 1850 dan 1878 sebagai bagian dari wilayah Kesultanan Bulungan yang diserahkan kepada Pemerintah Kolonial Belanda.
Penguasaan efektif dipertimbangkan sebagai masalah yang berdiri sendiri dengan tahun 1969 sebagai critical date mengingat argumentasi hukum RI maupun argumentasi hukum Malaysia tidak dapat membuktikan klaim kepemilikan masing-masing atas kedua pula yang bersengketa.
a) Berkaitan dengan pembuktian effectivities Indonesia, Mahkamah menyimpulkan bahwa tidak ada bukti-bukti kuat yang dapat mewujudkan kedaulatan oleh Belanda atau Pulai Sipadan dan Pulau Ligitan. Begitu pula halnya, tidak ada bukti-bukti dan dokumen otentik yang dapat menunjukkan adanya bentuk dan wujud pelaksanaan kedaulatan Indonesia atas kedua pulau dimaksud hingga tahun 1969. Mahkamah tidak dapat mengabaikan fakta bahwa UU No. 4/Prp/1960 tentang Perairan yang ditetapkan pada 18 Pebruari 1960-yang merupakan produk hukum awal bagi penegasan konsep kewilayahan Wawasan Nusantara- juga tidak memasukkan Sipadan-Ligitan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
b) Berkaitan dengan pembuktian effectivies Malaysia, Mahkamah menyimpulkan bahwa sejumlah dokumen yang diajukan menunjukkan adanya beragam tindakan pengelolaan yang berkesinambungan dan damai yang dilakukan pemerintah kolonial Inggris sejak 1917. serangkaian upaya Inggris tersebut terwujud dalam bentuk tindakan legislasi, quasi yudisial, dan administrasi atas kedua pulau sengketa, seperti :
Pengutipan pajak terhadap kegiatan penangkapan penyu dan pengumpulan telur penyu sejak 1917.
Penyelesaian sengketa dalam kegiatan pengumpulan telur penyu di P. Sipadan pada tahun 1930-an;
Penetapan P. Sipadan sebagai cagar burung, dan
Pembangunan dan pemeliharaan mercu suar sejak tahun 1962 di P. Sipadan dan pada tahun 1963 di P. Ligitan
Mengetahui Keputusan Mahkamah Internasional bahwa pada akhirnya Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan jatuh ketangan Pihak Malaysia membuat Pemerintah Indonesia menyatakan rasa kecewa yang mendalam bahwa upaya yang dilakukan oleh empat pemerintah Indonesia sejak tahun 1997 ternyata tidak membuahkan hasil. Namun Indonesia berkewajiban untuk menghormati Persetujan Khusus untuk bersama-sama mengajukan kedua sengketa ini ke Mahkamah Internasional pada 13 Mei 1997. dan sesuai dengan kesepakatan antara Indonesia dengan Malaysia bahwa tidak ada banding dalam keputusan ini,Sebab keputusan Mahkamah Internasional ini bersifat final dan mengikat.
Dalam urusan ini Pemerintah Indonesia juga percaya bahwa seluruh proses peradilan telah berlangsung secara adil dan transparan. Tentang tindak lanjut pasca keputusan MI, hal pertama yang dilakukan oleh Indonesia adalah merumuskan batas-batas negara dengan negara-negara terdekat. Untuk batas Pulau Sipadan dan Ligitan akan ditarik batas laut wilayah sejauh 12 mil dari lingkungan kedua pulau tersebut.
Adapun biaya yang dikeluarkan oleh Indonesia hingga proses penyelesaian kasus sengketa ini mencapai Rp. 16.000.000.000 (enambelas miliar), yang sebagian besar digunakan untuk membayar pengacara. Tetapi biaya itu bukan sebuah kerugian, karena hal itu merupakan konsekuensi dari sebuah perjuangan. Ini bisa dibilang sebuah perjuangan demi tercapainya cita-cita dan juga merupakan bukti bahwa indonesia masih pedulu terhadap kedua pulau tersebut.
BAB V
PENUTUP
Kesimpulan
Sengketa antara Indonesia dengan Malaysia yang dibahas disini adalah sengketa kedaulatan atas pulau kecil yang terletak di Lepas Pantai Timur laut Kalimantan, yaitu Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan. Sengketa yang mempunyai akar sejarah yang kompleks tersebut mengkristal pada saat dilaksanakannya perundingan untuk menentukan batas landas kontinen antara Indonesia dan Malaysia pada tahun 1969.
Pada saat itu, kedua belah pihak sama-sama menyatakn bahwa pulau itu berada dibawah kedaulatannya, hal itu dipicu oleh perbedaan penafsiran dari Indonesia dan Malaysia menyangkut pasal IV konvensi 1891 antara Belanda dengan Inggris.
Konvensi itu sendiri dilatar belakangi oleh ketidak jelasan batas antara wilayah yang dimiliki oleh Belanda dan Inggris di Pulau Kalimantan sebagai akibat dari ketidak jelasan batas wilayah antara Kesultanan Bulungan dengan Kesultanan Sulu yang sebelumnya menguasai wilayah tersebut.
Berbagai upaya penyelesaian secara damai telah ditempuh oleh kedua belah pihak yaitu Indonesia dan Malaysia, cara damai yang ditempuh Indonesia dan Malaysia ini akan memberikan dampak yang besar bagi kawasan Asia Tenggara. Untuk menyelesaikan sengketa ini, dimulai dengan cara diplomatik, yang dilakukan sejak tahun 1969 sampai dengan 1997. Berbagai perundingan bilateral yang telah dilakukan delegasi-delegasi Indonesia dan Malaysia dalam kurun waktu tersebut ternyata tidak dapat membuahkan hasil yang memuaskan bagi Indonesia dan Malaysia dalam penyelesaian sengketa tersebut. Oleh karena itu, pada tanggal 31 Mei 1997 melalui Special Agreement kedua belah pihak sepakat untuk menyelesaikan sengketa ini melalui jalur hukum yaitu dengan menyerahkannya kepada Mahkamah Internasional ( ICJ) yang berkedudukan di Den Hag,Belanda.
Sebelumnya Indonesia menolak untuk melakukan jalur hukum melalui Mahkamah Internasional karena Indonesia lebih ingin menyelesaikan masalah sengketa itu melalui Dewan Tinggi (High Court) ASEAN. Langkah itu selaras dengan Traktat Persahabatan dan Kerja Sama di Asia Tenggara atau TAC (Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia). Traktat yang ditanda tangani dalam KTT I ASEAN di Bali, 1976 itu menyebutkan,akan membentuk Dewan Tinggi ASEAN untuk menyelesaikan perselisihan yang terjadi diantara sesama anggota ASEAN.
Namun, Malaysia menolak tegas keinginan itu, Malaysia ingin membawa masalah itu ke Mahkamah Internasional yang dianggap lebih netral. Tidak heran jika Malaysia bersih keras untuk menolak usulan Indonesai tersebut,karena Malaysia memiliki sengketa serupa hampir dengan seluruh negara ASEAN.
Dan akhirnya saat berkinjung ke Kuala Lumpur,Presiden Soeharto menyetujui usulan Perdana Mentri Mahatir dan rekomendasi dari Mensesneg Moerdiono dan Wakil Perdana Menteri Anwar Ibrahim untuk membawa kasus sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan ke Mahkamah Internasional (ICJ) yang dipandang sebagai lembaga yang memiliki cukup kemampuan untuk mempertimbangkan masalah tersebut.
Presiden Soeharto memandang ICJ sebagai lembaga paling netral untuk menyelesaikan masalah yang sudah menjadi warisan dari zaman Belanda tersebut. Dan setelah melalui masa tiga tahun terakhir,dari Orde Baru hingga Orde Reformasi pada Orde Sekarang ini, Sipadan dan ligitan baru bisa diputuskan.
Dalam berbagai tahap pemeriksaan di Mahkamah Internasional, baik indonesia maupun Malaysia telah mengemukakan berbagai argumen baik argument tertulis“Written Pleadings” maupun argument lisan ”Oral Hearings” yang dianggap mendukung Klaimnya masing-masing.
Akhirnya setelah pertimbangan berbagai argument yang dikemukakan oleh Indonesia maupun Malaysia, pada tanggal 17 Desember 2002, Mahkamah Internasional telah memberikan putusannya atas sengketa Pulau sipadan dan Pulau Ligitan tersebut. Dalam putusannya, Mahkamah Internasional menyatakan bahwa kedaulatan atas pulau Sipadan dan Pulau Ligitan ada di tangan Malaysia. Putusan ini diambil oleh Mahkamah Internasional dengan mempertimbangkan unsur effectivities sebagai suatu unsur yang berdiri sendiri,terlepas dari unsur Conventional Title maupun Chain of Title. Tidak seperti argument Indonesia dan Malaysi, dimana unsur effectivities ini hanya dipandang sebagai unsur tambahan yang merupakan penegasan kembali dari kedaulatan yang telah diperoleh berdasarkan perjanjian Intenasional.
Putusan tersebut diambil dengan perbandingan 16 : 1, dimana satu-satunya hakim yang mempunyai pendapat berbeda, bahwa kedaulatan atas pulau Sipadan dan Pulau ligitan seharusnya ada di tangan Indonesia adalah hakim ad hoc Thomas J. Franck.
Mencermati ketiga dasar hokum dari Mahkamah Internasional tersebut yaitu keberadaan teru menerus, penguasaan effektif dan pelestarian alam untuk penyelesaian sengketa territorial lainnya. Bukan tidak mungkin seperti terjadi di dunia hokum, ketiga pertimbangan tersebut akan menjadi yurispodensi baru dalam memutuskan masalah sengketa territorial.
Dengan segala daya upaya Indonesia berusaha mempertahankan kedua pilau tersebu. Namun dasar konvensi 1891 antara Inggris dengan Belanda yang digunakan Indonesia ternyata tidak “ampuh”. Karena, pijakkan indonesia, garis paralel 4°10 menit Lintang Utara yang disebut dalam pasal IV Konvensi itu,tidak bisa diterima.
Mahkamah Internasional lebih memilih menggunakan dasar kenyataan Inggris telah menjalankan administrasi kedua pulau tersebut sekitar tahin 1930-an. Setidaknya waktu itu Inggris mengeluarkan ordonasi perlindungan satwa burung, memungut pajak bagi para pengumpul penyu, dan menjalankan mercusuar pada tahun 1960-an. Asas effectivities atau penguasaan secara efektif inilah yang digunakan Mahkamah Internasional untuk memenangkan Malaysia.
Disatu sisi harus diakui, titik lemah Indonesia sudah terlihat dari awal. Indonesia telah memandang kedua pulau tersebut,ketika Indonesia menerbitkan perpu nomor 4 tahun 1960 tentang Perairan Indonesia, Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan tidak dicantumkan sebagi wilayah Negara Kesatuan Republik Indnesia. Dan memang bias dikatakan Indonesia melalaikan, bahkan tidak pernah menyentuh kedua pualu tersebut,antara lain karena terlalu taat pada kesepakatan status quo yang sebenarnya tidak terdokumentasi secara tertulis.
Oleh karena itu, suka tidak suka, harus diakui kesalahan ini pun tidak bisa sepenuhnya dibebankan kepada satu pihak. Terutama karena persoalan itu lebih merupkan warisan sejak abad ke-17, tepatnya dari tahun 1878 hingga abad ini. Dan tidak ada alas an pula jika seluruh bangsa merenungi perginya dua pulau yang luasnya tidak lebih dari seperempat Jakarta. Akan tetapijika mengambil hikmah pengalaman itu untuk menghadapi persoalan serupa dimasa datang.
Tetapi bagaimanapun hati para warga Negara Indonesia terasa gundah dan kecewa ketika pada akhirnya Mahkamah Internasional memutuskan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan menjadi hak milik dan masuk dalam wilayah kedaulatan Malaysia. Meski belum pernah ada bukti,Indonesia memiliki secarah sah kedua pulau tersebut, namun ada keinginan untuk memprotes atau setidaknya sedikit mempertanyakan keputusan itu. Sayang tangan ini sudah terikat perjanjian bersama (Special Agreement) yang menegaskan, putusan Mahkamah Internasional itu final dan mengikat.
Satu hal yang perlu disesali dalam mekanisme penyelesaian konflik Sipadan dan Ligitan ini adalah tidak dipergunakannya mekanisme regional ASEAN. ASEAN sebagai suatu forum kerja sama regional, sangat minimal perannya dalam pemecahan perbatasan.
Lepasnya Sipadan dan Ligitan dalam kaitannya dengan masalah pengisian konsep Negara kepualuan, telah mengingatkan kembali kepada pemerintah maupun masyarakat Indonesia pada umumnya akan pentingnya pengurusan pulau-pulau tersebut. Pasalnya selama ini seakan kita lupa betapa berartinya praktek pendudukan efektif terhadap pulau-pulau yang dianggap tak bertuan, pulau-pulau itu menjadi incaran negara-negara tetangga. Sejak Sipadan dan Ligitan lepas, Indonesia memiliki 17.506 pulau. Sebagian pulau sudah berpenghuni dan bernama. Akan tetapi masih banyak yang kosong dan tidak punya nama. Dan yang paling mengkhawatirkan tentu saja pulau-pulau yang berbatasan dengan negara lain.
Akibat jatuhnya Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan ke tangan Malaysia, terjadi dampak domestic yang tidak kalah hebatnya, banyak komentar maupun anggapan bahwa Departemen Luar Negri-lah penyebab utama lepasnya kedua Pualau tersebut mengingat seharusnya Departemen Luar Negeri dibawah pimpinan Mentri Luar Negri Hasan Wirajuda mampu mempertahankan Pulau sipadan dan Pulau Ligitan dengan kekuatan Diplomasinya. Namun, bukanlah merupakan hal yang bijaksana bila kita menyalahkan Deplu sebagai satu-satunya pihak yang menyebabkan lepasnya kedua pulau tersebut, mengingat kronologi konflik Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan yang sudah berumur lebih dai empat dasarwarsa tersebut.
Mungkin inilah secercah pencerahan terhadap bangsa yang tidak tertutup kemungkinan kehilangan “intrgritas” atau keutuhan atas Negara kesatuan kalau tidak cepat belajar terhadap bahaya yang ada di depan mata. Sedangkan terhadap dewan, seharusnya tidak menjadi patah semangat mempertanyakan keseriusan pemerintah mempertahankan nasib wilayah bangsa, meski penjelasnya hanya dijawab seorang mentri.
Saran
Sebagai poin akhir dalam penulisan makalah ini saya menuangkan beberapa saran yang semoga dapat direnungkan oleh para pembaca. Adapun saran yang saya sampaikan ialah :
1. Lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan ini sebenarnya peringatan penting bagi pemerintah untuk lebih memperhatikan pulau-pulau kecil yang bertebaran di Indonesia.
2. Pandangan bahwa kasus sengketa ini merupakan konsekuensi dari ketidak becusan pemerintah memandatkan dan memperhatikan pulau-pulau kecil di perbatasan padahal jika pemanfaatan ini di realisasikan pemerintah justru akan menghasilkan penambahan pendapatan untuk Negara.
3. Pemerintahan khususnya dan rakyat pada umumnya jangan hanya responsif ketika masalah telah muncul, tetapi haruslah bertindak preventif sebelum timbulnya masalah.
4. Pemerintah dan Departemen Luar Negri agaknya masih perlu membagi perhatiannya terhadap isu-isu konvensional seperti klaim territorial ini.
5. Sebagai sebuh Negara kepulauan, Indonesia perlu meneruskan pembicaraan-pembicaraan bilateral dengan semua Negara yang masih memiliki klaim tumpang tindih,seperti dengan Filipina, Vietnam dan singapura.
6. untuk msecara efektif dapat menguasai seluruh pulau yang berada di batas teritorial Negara Kesatuan Republik Indonesia ini, dibutuhkan kerja keras dan koordinasi dari semua lembaga yang berurusan dengan pembinaan pulau dan penjagaan wilayah laut RI.
DAFTAR PUSTAKA
1. Kusumaadmajdja, Mochtar dan R.agoe, Etty, Pengantar Hukum Internasional (Bandung : Alumni,2003, hal 164).
2. Drs.T may Rudy S.H MIR M,sc, Hukum Internasional I : Rafika Aditama.
3. Peter Malancuzuk, Aakehurst’s Modern Introduction to International Law (Ney York : Rout Ladge,2001: hal 273-274)
4. Djalal,Hasjim. 2002. Sistem Keamanan Perbatasan Indonesia. Jakarta : Depdagri.
5. Indonesia, “International Courtof Justice : Case Concerning Sovereignty Over Pulau Ligitan and Pulau Sipadan, Memorial Submitted by the Government of the Republic of Indonesia”, Vol.1 (Memorial of Indonesia) chap VIII, Point 86.
6. Charter of the United Nations (Piagam PBB pasal 33 ayat 1)
7. Energy Security and Southeast Asia : The Impact on Maritime Boundary and Territorial Disputes. Harvard Asia Quarterly. Fall 2005.
8. Arif, Negara Berpagar Belasan Ribu Pulau, Berbagai Sumber - Tempo, 08 Maret 2005.
9. Sipadan-Ligitan Jatuh ke Malaysia : Menlu kecewa, Indonesia Terima: Kompas, 18 Desember 2002.
10. http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/10/06/WAW/mbm.20081006.WAW128382.id.html
11. http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0212/19/ln/53884.htm
12. http://www.berlinonline.de/berlinerzeitung/archiv/.bin/dump.fcgi/1996/0712/none/0212/index.html
13. http://www.compas.com.
14. http://www3.itu.int/MISSIONS/Indonesia/press/pr020603sipadan.htm. Permanent Mission of the Republic of Indonesia to yhe United Nations and Other International Organization in Geneva. Press Release : Proses Oral Hearings Sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan di Mahkamah lnternasional, 3-12 Juni 2002.
**The writer is Student of Finance and Banking Administration, Univ. of Indonesia

No comments:
Post a Comment