Previous Scandal of Jul Park - Part I
Rangga hanya tersenyum melihatku, dia pun pasti tau alasanku kenapa
aku tidak mau menyambut tangannya, yaaa karena tanganku kotor.
"Ooh
Jul?" kata pemuda itu, akupun hanya mengangguk ketika dia menyebut
namaku. "begini mba Jul" dia melanjutkan "saya di Taman ini, bukanny
lagi cari perhatian orang-orang yang ada di Taman ini, teriakkan saya
tadi pun tanpa saya sadari keluar begitu saja dari mulut saya saking
kesalnya saya dengan apa yang sedang menimpa saya hari ini" Rangga memeperhatikanku sebentar kemudian melanjutkan "nah kalo
mba Jul sendiri, sedang apa di Taman ini?"
Aku
berfikir apa yang harus aku jawab, dia bertanya seperti itu karena
memang benar-benar tidak tahu siapa aku atau hanya pura-pura tidak tahu
dan ingin merendahkanku saja, tapi mungkin dia memang benar-benar tidak
tau siapa aku, lalu aku putuskan untuk menjawab pertanyaannya dengan apa
adanya "saya memang setiap hari di sini".
"oohh jadi udah agenda rutin
yaa kamu kesini?" jawab Rangga.
"bukan agenda rutin lagi, saya memang
tinggal disini, ini rumah saya"
Setelah mendengar ucapanku Rangga
langsung melihat-lihat ke atas pohon dari pandangan matany "memang
rumahmu disebelah mana?" tanya Rangga dengan masih tetap pendangan
matanya melihat kesekeliling pohon yang ada di Taman.
"Ooh Tuhan,
memangnya kamu pikir saya apa? dedemit? dedemit yang tinggal di atas
pohon?" jawabku geram "saya tinggal di bawah pohon, bukan di atas pohon,
tuh di sana" jawabku sambil menunjukkan bangku taman yang terbuat dari
semen, panjangnya hanya sekitar satu meter setengah dan memang bangku
itulah yang kujadikan sebagai tempat tidurku yang paling nyaman selama
lima tahun ini.
Pernah sesekali aku mencoba tidur di
kasur empuk waktu diminta untuk menemani Eyang Uti yang rumahnya persis
di depan Taman ini, memang empuk dan nyaman sekali, tapi realita
menyatakan kasurku di sini, di bangku semen Taman ini bukan di kasur
empuk itu.
Rangga sadar ucapan Jul barusan itu serius, dan untuk
meyakinkan kebenarannya Rangga kembali bertanya "kamuu beneran tinggal
di sini?"
Aku hanya mengangguk meng-iyakan
"kamu gak punya tempat tinggal?"
aku kemudian kembali mengangguk.
Tentu saja Rangga tidak menyangka, sebagai anak
jalanan aku cukup menjaga kebersihan tubuh dan pakaianku dibandingkan
anak jalanan lainnya, minimal aku mandi sekali dalam sehari dan berganti
pakaian sekali dua hari apabila tidak terlalu kotor, walaupun aku malas
untuk sisiran makanya kupotong bondol saja rambutku tapi dua hari
sekali aku keramasi biar wangi.
Eyang Uti selalu mengajarkanku untuk
selalu menjaga kebersihan dan dia suka memberiku baju-baju bekas anaknya
dulu yang masih bagus-bagus dan beberapa kali aku pernah dibelikannya
baju seharga 400 ribu, baju terbaik dan termahal yang aku punya, aku
baru memakainya 2 kali, yang pertama ketika aku memakainya di hari ulang
tahunku dan yang kedua kukenakan saat menghadiri pemakaman Eyang Uti
tiga tahun lalu.
Setelah Eyang Uti meninggal, baju itu tak pernah aku
kenakan lagi dan kusimpan dengan rapih di dalam tas selempang yang
selalu kubawa kemanapun dan hampir tak pernah kulepaskan dari tubuhku,
karena disitulah hartaku yang paling berharga tersimpan. Setahun setelah
kematian Eyang Uti, keluarganya pindah keluar negeri dan rumah itu di
jual, penghuni barunya adalah pengantin baru yang sampai tahun kedua
pernikahannya belum juga diberikan keturunan.
"Yaa
beginilah hidupku, anak jalanan, gak punya rumah, orang tua entah dimana
masih hidup atau sudah matipun aku tidak tau" kataku miris.
"hmmm,
sudah lima tahun di sini, gak nyari tempat lain untuk tinggal, klo anak
jalanankan biasanya tinggal dimana aja dan pasti selalu
berpindah-pindah, emangnya gak di usir kantip klo tidur di sini?" Tanya
Rangga
Aku tertawa mendengar ucapannya, dan menjelaskan sekali lagi kepada Rangga "kan tadi sudah saya
bilang, ini rumah saya, gak ada yang berani mengusur saya dari sini dan
aku sudah betah gak ada niat sedikitpun untuk pindah rumah :D" ucapku
bangga.
Aku senang bermain dengan anak-anak di sini, saling bersapa
ramah dengan ibu-ibu muda, dan menjadi pendengar yang baik dari
ocehan-ocehan para nenek-nenek dan kakek-kakek yang mengisi taman
disetiap sore, yaa kalau bukan aku yang mau mendengarkan keluh
kesah para manula itu lantas siapa lagi? Anak mereka saja sudah sibuk
bekerja, tak ada waktu untuk mendengarkan ocehan-ocehan yang tidak
penting dari mereka, dan cucu mereka pun layaknya anak muda di jamannya,
bermain bersama temannya, pacaran, melakukan kegiatan-kegiatan lainnya.
Kalaupun ada cucu mereka yang masih balita apa akan mengerti dengan apa
yang di keluhkan oleh sang manula itu. Dan tak jarang aku dan mereka
tertawa bersama, mereka sangat baik kepadaku, bisa menerimaku, bahkan
kantip yang dibilang Rangga akan mengusirku itu sudah sangat akrab
denganku dan mengizinkanku untuk menjadi penghuni Taman ini, yaa mereka
memang harus mengizinkanku tinggal di sini, ini fasilitas umum yang
dibuat pemerintah untuk rakyatnya, kalau mereka mengusirku dari sini
memangnya pemerintah mau bertanggung jawab dengan membangunkanku sebuah
tempat tinggal? peduli apa para pemerintah itu, cih.. Lagipula di taman
ini aku bukan hanya sekedar makan dan tidur saja tapi aku juga turut
serta menjaga taman ini, merawat tanaman-tanaman disini, menjaga
kebersihan taman ini. Bahkan orang-orang disini menamai Taman ini dengan
sebutan "Jul Park" Taman Jul, hahahaaa luar biasa bukan?
"Oohh baiklah kalo memang itu sudah keputusanmu :)" Rangga
tersenyum dan terdiam.
Sepertinya Rangga kehabisan kata-kata untuk
berbicara padaku, atau mungkin dia merasa jijik denganku setelah ku beri
tahu siapa aku di Taman in. Untuk menepis keheningan aku melontarkan
sebuah pertanyaan yang memang sedari tadi aku ingin tanyakan ke pemuda
itu yaaa ke Rangga, akupun mulai memberanikan diri bertanay "saya boleh
tanya mas Rangga?"
Rangga menoleh ke arahku dan lagi-lagi tersenyum dan
berkata "tentuu saja boleehh, apa? apa yang ingin kamu tanyakan sama
saya?" jawab Rangga dengan ramah.
Bersambung...
No comments:
Post a Comment