Time is Flow

Wednesday, 17 October 2012

Scandal of Jul Park - Part 2



Rangga hanya tersenyum melihatku, dia pun pasti tau alasanku kenapa aku tidak mau menyambut tangannya, yaaa karena tanganku kotor.

"Ooh Jul?" kata pemuda itu, akupun hanya mengangguk ketika dia menyebut namaku. "begini mba Jul" dia melanjutkan "saya di Taman ini, bukanny lagi cari perhatian orang-orang yang ada di Taman ini, teriakkan saya tadi pun tanpa saya sadari keluar begitu saja dari mulut saya saking kesalnya saya dengan apa yang sedang menimpa saya hari ini" Rangga memeperhatikanku sebentar kemudian melanjutkan "nah kalo mba Jul sendiri, sedang apa di Taman ini?"

Aku berfikir apa yang harus aku jawab, dia bertanya seperti itu karena memang benar-benar tidak tahu siapa aku atau hanya pura-pura tidak tahu dan ingin merendahkanku saja, tapi mungkin dia memang benar-benar tidak tau siapa aku, lalu aku putuskan untuk menjawab pertanyaannya dengan apa adanya "saya memang setiap hari di sini".

"oohh jadi udah agenda rutin yaa kamu kesini?" jawab Rangga.

"bukan agenda rutin lagi, saya memang tinggal disini, ini rumah saya"

Setelah mendengar ucapanku Rangga langsung melihat-lihat ke atas pohon dari pandangan matany "memang rumahmu disebelah mana?" tanya Rangga dengan masih tetap pendangan matanya melihat kesekeliling pohon yang ada di Taman.

"Ooh Tuhan, memangnya kamu pikir saya apa? dedemit? dedemit yang tinggal di atas pohon?" jawabku geram "saya tinggal di bawah pohon, bukan di atas pohon, tuh di sana" jawabku sambil menunjukkan bangku taman yang terbuat dari semen, panjangnya hanya sekitar satu meter setengah dan memang bangku itulah yang kujadikan sebagai tempat tidurku yang paling nyaman selama lima tahun ini.

Pernah sesekali aku mencoba tidur di kasur empuk waktu diminta untuk menemani Eyang Uti yang rumahnya persis di depan Taman ini, memang empuk dan nyaman sekali, tapi realita menyatakan kasurku di sini, di bangku semen Taman ini bukan di kasur empuk itu.

Rangga sadar ucapan Jul barusan itu serius, dan untuk meyakinkan kebenarannya Rangga kembali bertanya "kamuu beneran tinggal di sini?"

Aku hanya mengangguk meng-iyakan

"kamu gak punya tempat tinggal?"

aku kemudian kembali mengangguk.

Tentu saja Rangga tidak menyangka, sebagai anak jalanan aku cukup menjaga kebersihan tubuh dan pakaianku dibandingkan anak jalanan lainnya, minimal aku mandi sekali dalam sehari dan berganti pakaian sekali dua hari apabila tidak terlalu kotor, walaupun aku malas untuk sisiran makanya kupotong bondol saja rambutku tapi dua hari sekali aku keramasi biar wangi.

Eyang Uti selalu mengajarkanku untuk selalu menjaga kebersihan dan dia suka memberiku baju-baju bekas anaknya dulu yang masih bagus-bagus dan beberapa kali aku pernah dibelikannya baju seharga 400 ribu, baju terbaik dan termahal yang aku punya, aku baru memakainya 2 kali, yang pertama ketika aku memakainya di hari ulang tahunku dan yang kedua kukenakan saat menghadiri pemakaman Eyang Uti tiga tahun lalu.

Setelah Eyang Uti meninggal, baju itu tak pernah aku kenakan lagi dan kusimpan dengan rapih di dalam tas selempang yang selalu kubawa kemanapun dan hampir tak pernah kulepaskan dari tubuhku, karena disitulah hartaku yang paling berharga tersimpan. Setahun setelah kematian Eyang Uti, keluarganya pindah keluar negeri dan rumah itu di jual, penghuni barunya adalah pengantin baru yang sampai tahun kedua pernikahannya belum juga diberikan keturunan.

"Yaa beginilah hidupku, anak jalanan, gak punya rumah, orang tua entah dimana masih hidup atau sudah matipun aku tidak tau" kataku miris.

"hmmm, sudah lima tahun di sini, gak nyari tempat lain untuk tinggal, klo anak jalanankan biasanya tinggal dimana aja dan pasti selalu berpindah-pindah, emangnya gak di usir kantip klo tidur di sini?" Tanya Rangga

Aku tertawa mendengar ucapannya, dan menjelaskan sekali lagi kepada Rangga "kan tadi sudah saya bilang, ini rumah saya, gak ada yang berani mengusur saya dari sini dan aku sudah betah gak ada niat sedikitpun untuk pindah rumah :D" ucapku bangga. 

Aku senang bermain dengan anak-anak di sini, saling bersapa ramah dengan ibu-ibu muda, dan menjadi pendengar yang baik dari ocehan-ocehan para nenek-nenek dan kakek-kakek yang mengisi taman disetiap sore, yaa kalau bukan aku yang mau mendengarkan keluh kesah para manula itu lantas siapa lagi? Anak mereka saja sudah sibuk bekerja, tak ada waktu untuk mendengarkan ocehan-ocehan yang tidak penting dari mereka, dan cucu mereka pun layaknya anak muda di jamannya, bermain bersama temannya, pacaran, melakukan kegiatan-kegiatan lainnya. Kalaupun ada cucu mereka yang masih balita apa akan mengerti dengan apa yang di keluhkan oleh sang manula itu. Dan tak jarang aku dan mereka tertawa bersama, mereka sangat baik kepadaku, bisa menerimaku, bahkan kantip yang dibilang Rangga akan mengusirku itu sudah sangat akrab denganku dan mengizinkanku untuk menjadi penghuni Taman ini, yaa mereka memang harus mengizinkanku tinggal di sini, ini fasilitas umum yang dibuat pemerintah untuk rakyatnya, kalau mereka mengusirku dari sini memangnya pemerintah mau bertanggung jawab dengan membangunkanku sebuah tempat tinggal? peduli apa para pemerintah itu, cih.. Lagipula di taman ini aku bukan hanya sekedar makan dan tidur saja tapi aku juga turut serta menjaga taman ini, merawat tanaman-tanaman disini, menjaga kebersihan taman ini. Bahkan orang-orang disini menamai Taman ini dengan sebutan "Jul Park" Taman Jul, hahahaaa luar biasa bukan? 

"Oohh baiklah kalo memang itu sudah keputusanmu :)" Rangga tersenyum dan terdiam.

Sepertinya Rangga kehabisan kata-kata untuk berbicara padaku, atau mungkin dia merasa jijik denganku setelah ku beri tahu siapa aku di Taman in. Untuk menepis keheningan aku melontarkan sebuah pertanyaan yang memang sedari tadi aku ingin tanyakan ke pemuda itu yaaa ke Rangga, akupun mulai memberanikan diri bertanay "saya boleh tanya mas Rangga?" 

Rangga menoleh ke arahku dan lagi-lagi tersenyum dan berkata "tentuu saja boleehh, apa? apa yang ingin kamu tanyakan sama saya?" jawab Rangga dengan ramah.

Bersambung...


No comments:

Post a Comment